Contoh Makalah Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia
D-viralz.com | Hai sobat sekalian, makalah merupakan makanan pokok sehari hari bagi mahasiswa. Hampir semua mata kuliah pasti ada tugas untuk membuat makalah. tak terkecuali untuk mata kuliah hukum perdata islam di indonesia bagi yang mengambil jurusan hukum keluarga islam (HKI). Disini saya akan membagikan salah satu contoh makalah untuk sebuah bab yang ada di dalam mata kuliah tersebut, yakni hukum perkawinan islam di indonesia. langsung saja ini dia.
Contoh Makalah Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang masalah
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah
tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul amanah
dan tanggung jawab. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
merumuskan, bahwa Perkawinan, ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan
Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan di atas, tampak bahwa suatu rumusan arti dan
tujuan dari perkawinan. Arti “Perkawinan” dimaksud adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan
“tujuan” perkawinan dimaksud adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Makna dan arti dari
perkawinan menjadi lebih dalam, karena selain melibatkan kedua keluarga juga
lebih berarti untuk melanjutkan keturunan, keturunan merupakan hal penting dari
gagasan melaksanakan perkawinan. Menurut ketentuan Pasal 80 KUHPerdata, sebelum
berlakunya Undang-Undang Perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan harus
dilakukan di hadapan Pejabat Kantor Catatan Sipil. Dalam Pasal 81 KUHPerdata.
disebutkan, bahwa perkawinan secara agama harus dilakukan setelah
perkawinan di hadapan Kantor Catatan Sipil. Dengan demikian, apabila perkawinan
hanya dilakukan secara agama dan tidak dilakukan di hadapan Pejabat Catatan
Sipil, maka konsekuensi hukumnya dari berlakunya Pasal 80 jo 81 KUHPerdata di
atas, yaitu antara suami dan istri dan/atau antara suami/ayah dengan
anak-anaknya (kalau ada anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut), tidak
akan ada hubungan-hubungan perdata. Hubungan Perdata yang dimaksud adalah
antara lain hubungan pewarisan antara suami dan istrinya dan/atau suami/ayah
dengan anak-anaknya serta keluarganya, apabila di kemudian hari terdapat salah
seorang yang meninggal dunia. Perkawinan yang telah dilangsungkan menurut hukum
agama dan kepercayaan harus dicatat oleh petugas pencatat dengan maksud agar
terjadi tertib administrasi pemerintahan dan kependudukan. Terciptanya tertib
administrasi kependudukan berarti menghindarkan kekacauan administrasi yang
berhubungan dengan kepastian kedudukan hukum seseorang.[1]
Kondisi perekonomian dan
kurangnya pengetahuan hukum menimbulkan ketentuan di atas tidak dapat
dilaksanakan dengan baik. Khusus untuk perkawinan yang tidak dicatatkan oleh
pegawai pencatat. Atau adanya keinginan dari sang suami yang tidak mau terikat
pada ketentuan Pasal 27 BW/KUHPerdata juncto Pasal 2 ayat (1) UUPA tentang
syarat sahnya perkawinan. Hal tersebut dilakukan dengan cara melakukan
perkawinan.
dengan cara menurut hukum Islam dan tidak mendaftarkan perkawinan
tersebut ke Kantor Catatan Sipil yang berwenang. Nikah di bawah tangan atau
perkawinan yang tidak tercatat, artinya secara material telah memenuhi
ketentuan syari'at dan dianggap sah secara agama tetapi tidak mempunyai
kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan tidak tercatat biasanya
dilakukan di kalangan terbatas, di hadapan Pak Kyai atau tokoh agama, tanpa
kehadiran petugas KUA, dan tentu saja tidak memiliki surat nikah. Perkawinan
ini tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.[2]
Dalam kondisi tersebut,
anak-anak yang dilahirkan dari perzinaan tentu saja akan menempatkan anak
keturunan sebagai anak tidak sah secara materiil maupun formil. Hal ini sesuai
dengan Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa anak sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan syarat
sah perkawinan diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Perkawinan dalam ayat (1)
disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan dalam ayat (2) disebutkan
bahwa tiaptiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Apabila suatu perkawinan tidak memenuhi kedua unsur sebagai mana
diaturdalam pasal tersebut di atas, maka perkawinan dianggap tidak sah menurut
hukum negara maupun hukum agama. Kedudukan anak hasil pernikahan siri hanya
memiliki hubungan perdata dengan ibunya sementara dengan ayahnya tidak memiliki
hubungan hukum kecuali adanya pengakuan ayahnya terhadap anak tersebut yang
harus dilakukan dengan akta otentik.[3]
Upaya untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan sejahtera, maka orang tua membina dan memelihara
anaknya dengan cinta kasih, perhatian yang cukup termasuk pendidikan, kesehatan
dan kecakapan. Kehadiran seorang anak merupakan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi
seorang ibu maupun keluarganya karena anak merupakan buah perkawinan dan
sebagai landasan keturunan. Anak sebagai fitrah Tuhan Yang Maha Esa perlu
mendapatkan perawatan sebaik-baiknya dan merupakan tunas-tunas bangsa yang akan
meneruskan cita-cita bangsa yaitu mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan
makmur. Setiap anak dapat atau mampu memikul tanggung jawabnya di masa depan,
maka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
secara normal baik jasmani, rohani maupun sosial. Artinya anak harus mendapat
perawatan yang cukup, asupan gizi yang cukup, pendidikan yang memadai, dan
pemenuhan kebutuhan lainnya yang mendukung perkembangannya. Namun akibat hukum
apabila perkawinan tidak dicatatkan, status anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut akan menjadi tidak pasti. Secara administrasi karena perkawinan kedua
orang tuanya tidak dicatat, yaitu memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Suatu
perkawinan tidak dicatat walaupun secara agama sah tapi perkawinan tersebut
tidak terdaftar/ tidak diadministrasikan karena tidak memiliki bukti-bukti
perkawinan yang sah sesuai dengan ketentuan perundangan. Pasal 2 ayat 2
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan
perkataan lain, walaupun anak tersebut adalah anak sah, tetapi tidak mempunyai
bukti otentik yang dapat menguatkan bahwa anak tersebut adalah sah dari kedua
orang tuanya. Hal ini menimbulkan dampak yang tidak baik pada kehidupan anak
tersebut dikemudian hari, hak-hak anak tersebut dapat terlanggar seperti anak
tersebut tidak mempunyai hak untuk mewaris dari ayahnya secara hukum negara,
meski secara agama anak tersebut mempunyai hak atas hal tersebut. Sehingga
perlu upaya hukum agar anak tersebut memperoleh status secara administrasi.
Undang-Undang Perkawinan, mengenal dua macam status anak yaitu anak sah dan
anak luar nikah, sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 42 Undang-undang
Perkawinan menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah.
1.2 Rumusan masalah
1.
Apa itu hukum?
2.
Bagaimana sejarah perkembangan hukum perkawinan di Indonesia?
3.
Apa saja sumber pembentukan hukum di Indonesia?
4.Teori keberlakuan hukum di Indonesia?
1.1
Pengertian hukum dan perkawinan islam
Pengertian Hukum secara etimologis:
Hukum
Recht
Recht berasal dari kata rectum (latin) yang berarti bimbingan,
tuntutan, atau pemerintahan. Di samping itu dikenal juga terma ‘rex’ yaitu
orang yang memberi bimbingan atau arahan. Rex juga bisa dimaknai Raja. Terma
recht yang bermakna bimbingan atau perintah selalu meniscayakan adanya
kewibawaan, dan kewibawaan berkaitan dengan ketaatan. Artinya sebuah perintah
atau arahan cenderung akan ditaati ketika memiliki kewibawaan. Dalam bahasa
Belanda derivasi dari terma recht memiliki makna keadilan, artinya hukum juga
memiliki kaitan dengan keadilan.
Dengan demikian Recht diartikan sebagai arahan atau perintah yang
memiliki unsur kewibawaan dan keadilan.
Ius
Terma Ius berasal dari bahasa Latin ‘Iubere’ yang berarti mengatur
atau memerintah. Mengatur dan memerintah berpangkal pada kewibawaan. Di sisi
lain Ius berkaitan erat dengan ‘Iustitia’ atau keadilan. Dalam legenda Yunani
Iustitia adalah dewi keadilan yang dilambangkan dengan seorang wanita yang
tertutup matanya, tangan kiri memegang neraca dan tangan kanan memegang pedang.
Makna dari lambang ini
adalah:
1.Kedua
mata tertutup, dalam mencari keadilan tidak boleh membedakan antara si kaya dan
si miskin, pejabat atau bukan pejabat, dan lain sebagainya.
2.Neraca
melambangkan keadilan.
3.Pedang
melambangkan keadilan yang mengejar kejahatan dengan suatu hukum yang tegas.
Lex
Lex berasal dari bahasa Latin ‘lesere’ yang berarti mengumpulkan
orang-orang untuk diberi perintah. Terma ini memuat adanya unsur otoritas atau
wibawa. Berdasarkan uraian di atas, maka hukum akan memuat unsur-unsur
keadilan, kewibawaan, ketaatan, peraturan yang berujung pada keteraturan dan
kedamaian.
Terminologi
Para Sarjana Hukum.
Mendefinisikan hukum dengan
definisi yang dapat mewakili hukum yang sebenarnya dalam satu definisi adalah
sangat sulit. Karena hukum merasuk dalam setiap lini kehidupan masyarakat,
memiliki banyak bentuk (multifaces), dan sangat kompleks. Para Yuris pun
menawarkan definisi dengan berbagai perspektif yang sangat dipengaruhi oleh
latar belakang masing-masing Yuris.
Prof.
Dr. van Kan. (Juris dari Belanda)
Menurutnya
hukum adalah “keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk
melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat”.
Prof. Mr. E. M. Meyers.
Hukum adalah semua aturan
yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan pada tingkah laku manusia
dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa Negara dalam
melakukan tugasnya.”
Prof.Mr.Dr.L.J.VanApeldoorn.(JurisBelanda)
Ia membedakan pengertianhukum berdasarkan 2 sudut pandang:
Hukum menurut kalangan terpelajar adalah rentetan pasal demi pasal
yang termuat dalam aturan atau perundang-uandangan.
Hukum menurut orang awam (the man in the street) ketika mendengar
istilah hukum, maka ia akan teringat akan polisi, jaksa, pengadilan, hakim, dan
aparat penegak hukum lainnya.
Prof. Paul Scholten.
Sarjana hukum asal Belanda ini memandang hukum berdasarkan
kepentingan individual (perorangan) dan sosial (masyarakat). Dia tidak
memberikan tawaran definisi tunggal mengenai hukum, namun ia memberikan batasan
bahwa, “Recht is bevel, Recht is verlof, Recht is belofte, Recht is depositie”.
Dr.
E. Utrecht, SH.
Utrecht memberikan tawaran definisi hukum sekedar untuk pegangan
dan memudahkan pemahaman bagi penjelajah hukum dan bukan sebagai definisi baku.
“Hukum adalah himpunan peraturan (perintah dan larangan) yang mengurus tata
tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.”
S.
M. Amin, SH.
“Kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi yang
bertujuan untuk mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia, sehingga
keamanan dan ketertiban terpelihara.”
J.
C. T. Simorangkir.
“Peraturan-peraturan
yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana
terhadap peraturan-peraturan tadi bereakibatkan diambilnya tindakan, yaitu
dengan hukuman tertentu.”
Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang dibuat oleh yang
berwenang, dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang
mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan
menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka yang melanggarnya.
2.Dibuat atau diciptakan oleh otoritas yang berwenang
3.Bersifat memaksa agar ditaati
4.Bertujuan mengatur tata tertib kehidupan
5.Sanksi terhadap pelanggaran. Terma hukum yang kita kenal berasal
dari bahasa Arab ‘hukmu’ (mufrad) – ‘ahkam’ (jama’) yang diderivasikan dari
kata kerja ‘hakama-yahkumu-hukm’ yang berarti al-qadha` bi al-’adl, yakni
memutuskan perkara dengan adil. Orang yang menetapkan hukum disebut al-hakim,
dan bentuk jamaknya adalah al-hukkam.[4]
Sedangkan
perkawinan/pernikahan itu sendiri berarti:
menghimpun. Dalam pengertian fiqih, nikah adalah akad yang mengandung kebolehan
melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin, sebagaimana dikutip
dari buku 'Tajdid Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam' karya Drs Sutaji, M.HI,
Selain itu,
menurut kompilasi hukum Islam, perkawinan adalah akad yang kuat atau mistaqon
gholidhon untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.[5]
1.2
Sejarah Perkembangan
Sepanjang sejarah Indonesia, wacana Undangundang Perkawinan selalu melibatkan tiga kepentingan; agama, negara dan perempuan. Oleh karena itu, perlu pemahaman undang-undang perkawinan, terutama dari aspek sejarahnya, dikarenakan (1) mengetahui pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia terhadap penerapan hukum Islam di Indonesia, dan (2) menentukan strategi pendekatan bangsa ini dengan hukum Islam. Kesimpulan dari tulisan ini adalah, pertama, pada masa penjajahan terdapat dua periode sejarah hukum perkawinan Islam dengan berlatar pada dua teori, yaitu teori receptio in complexu dan teori receptie. Kedua, dalam masa awal kemerdekaan lahir dua dua undangundang perkawinan, yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk serta Undang-undang no. 32 tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 Tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Jawa dan Madura. Ketiga, dalam masa setelah lahirnya Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat dua masa, yaitu (1) masa kelahiran undang-undang tersebut, dan (2) masa penerapan dari undang-undang tersebut dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam.[6]
Sejarah
Hukum Perkawinan Islam pada Masa Sebelum Kemerdekaan
1.Masa Penjajahan Belanda
Di masa penjajahan Belanda hukum perkawinan
yang berlaku adalah Compendium Freijer, yaitu kitab hukum yang berisi
aturan-aturan hukum Perkawinan dan hukum waris menurut Islam. Kitab ini ditetapkan pada tanggal 25 Mei 1760 untuk dipakai oleh
VOC. Atas usul Residen Cirebon, Mr. P.C. Hasselaar (1757-1765) dibuatlah kitab
Tjicebonshe Rechtsboek. Sementara untuk Landraad
di Semarang tahun 1750 dibuat Compendium tersendiri. Sedang untuk daerah
Makassar oleh VOC disahkan suatu Compendium sendiri.5 Pada masa Pemerintahan
Hindia Belanda di zaman Daendels (1800-1811) dan Inggris masa Thomas S. Raffles
(1811- 1816), hukum Islam merupakan hukum yang berlaku bagi masyarakat.
Pada tahun 1823, dengan resolusi Gubernur Jenderal tanggal 3 Juni
1823 Nomor 12, diresmikan Pengadilan Agama Kota Palembang yang dikepalai oleh
seorang penghulu dan banding dapat dimintakan kepada sultan. Wewenang
Pengadilan Agama Palembang meliputi: (1) perkawinan, (2) perceraian, (3)
pembagian harta, (4) pengurusan anak apabila orang tuanya bercerai, (5) pusaka
dan wasiat, (6) perwalian, dan perkara-perkara lain yang menyangkut agama.
Kewenangan peradilan agama
secara tegas dinyatakan dalam Staatsblaad 1835 Nomor 58. Dalam Staatsblaad 1835
Nomor 58 dinyatakan bahwa “jika di antara orang Jawa dengan orang Madura
terjadi perselisihan tentang perkara perkawinan atau pembagian harta dan
sebagainya yang harus diputuskan menurut hukum Islam, maka yang menjatuhkan
keputusannya adalah ahli agama Islam; akan tetapi, segala persengketaan
mengenai pembagian harta atau pembayaran yang terjadi harus dibawa ke
pengadilan biasa, pengadilan (biasa) yang akan menyelesaikan perkara itu dengan
mempertimbangkan keputusan ahli agama dan supaya keputusan itu
dijalankan.”. 8 Pada tahun 1882 dikeluarkan Stbl. 1882 No. 152 tentang
pembentukan pengadilan agama di Jawa dan Madura. Selanjutnya, pada tahun 1931
dibentuk Stbl. 1931 Nomor 53 tentang tiga pokok ketentuan bagi peradilan agama,
yaitu: (1) Pengadilan Agama, Raad Agama, atau Priesterraad diubah menjadi
Penghulu Gerecht yang dipimpin oleh seorang penghulu sebagai hakim, didampingi
oleh dua orang penasehat dan seorang panitera (griffier); (2) Pengadilan Agama
hanya memeriksa perkara-perkara yang bersangkutan dengan nikah, talak, rujuk,
hadhânat, dan wakaf; (3) diadakan Mahkamah Islam Tinggi (MIT) sebagai peradilan
banding atas putusan-putusan Pengadilan Agama.9 Pada masa itu hukum Islam
dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi
dikalangan orang Islam bahkan pada masa itu disusun kitab undang-undang yang
berasal dari kitab hukum Islam. Melalui ahli hukumnya Van Den Berg, lahirlah
teori receptio in complexu yang menyatakan bahwa syariat Islam secara
keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Teori ini sesuai dengan Regeerings
Reglement (Stbl. 1884 No. 129 di Negeri Belanda jo. Stbl.1885 No. 2 di
Indonesia). Pasal 75 ayat (3) RR. tersebut mengatur: “Apabila terjadi sengketa
perdata antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam oleh hakim Indonesia haruslah
diperlakukan Hukum Islam gonsdientig wetten dan kebiasaan mereka. Sedangkan
dalam ayat (4) Pasal 75 disebutkan: “Undang-undang agama, adat dan kebiasaan
itu juga dipakai untuk mereka oleh Hakim Eropa pada pengadilan yang Huger
Beroep, bahwa dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia
atau mereka yang dipersamakan dengan
orang Indonesia, maka mereka tunduk kepada keputusan hakim agama atau kepala
masyarakat mereka menurut undang-undang agama atau ketentuan lama mereka.
Selanjutnya,
muncul Rancangan Ordonansi Perkawinan Tercatat (Ontwerp Ordonantie op de
Ingeschreven Huwelijken) bulan Juni tahun 1937, yang memberikan konsekwensi
hukum pada warga pribumi sebagai berikut:
1.Seorang
laki-laki tidak diperkenankan menikah dengan lebih dari satu orang isteri.
2.Sebuah
hubungan perkawinan tidak dapat putus kecuali dengan tiga sebab; meninggalnya
salah satu pasangan, perginya salah satu pasangan selama dua tahun lebih dan
tidak diketahui kabar tentangnya sementara pasangan lainnya mengadakan
perkawinan lagi dengan orang lain atas ijin pengadilan, dan adanya putusan
perceraian dari pengadilan.
3.Setiap
perkawinan harus dicatatkan dalam catatan sipil. Adanya Ordonasi beserta tiga
konsekwensinya di atas memunculkan banyak protes dari masyarakat, khususnya
umat islam, karena mempunyai konsekwensi yang bertentangan dengan ajaran agama
Islam.
Penolakan pertama datang
dari Nahdlatul Ulama pada Kongres tahunannya di Malang. Selanjutnya disusul
oleh Syarikat Islam, Kelompok barisan Penjadar Sjarikat Islam, Muhammadiyah dan
lain sebagainya.
Melihat penolakan yang sangat keras dari masayarakat, maka
pemerintah Hindia Belanda mereka memutuskan untuk membatalkannya. Sebagai
gantinya, pada akhir tahun 1937 di Jakarta didirikan Komite Perlindungan kaum
Perempuan dan Anak Indonesia kemudian diubah menjadi Badan Perlindungan
Perempuan Indonesia dalam Perkawinan (BPPIP) dengan maksud mengusahakan
perbaikan dalam peraturan perkawinan.
2. Masa Penjajahan Jepang
Pada tahun 1942
Belanda meninggalkan Indonesia, dan digantikan oleh Jepang. Kebijakan Jepang
terhadap peradilan agama tetap meneruskan kebijakan sebelumnya. Kebijakan
tersebut dituangkan dalam peraturan peralihan Pasal 3 undang-undang bala
tentara Jepang (Osamu Sairei) tanggal 7 Maret 1942 No.1. hanya terdapat
perubahan nama pengadilan agama, sebagai peradilan tingkat pertama yang disebut “Sooryoo Hooim” dan Mahkamah Islam Tinggi,
sedangkan tingkat banding disebut “kaikyoo kootoohoin”.
3.Sejarah Hukum Perkawinan Islam pada Masa Setelah Kemerdekaan Sebelum
Lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Setelah merdeka, pemerintah RI telah membentuk
sejumlah peraturan perkawinan Islam. Di antaranya Undangundang Nomor 22 Tahun
1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.18 Undang-undang ini ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia
pada tanggal 21 Nopember 1946, yang terdiri dari 7 pasal, yang isi ringkasnya
sebagai berikut:
a. Pasal 1 ayat 1 s/d ayat 6, yang isinya
diantaranya; Nikah yang dilakukan umat Islam diawasi oleh Pegawai Pencatat
Nikah yang diangkat oleh menteri agam, Talak dan Rujuk diberitahukan kepada
Pegawai pencatat Nikah, yang berhak mengadakan pengawasan Nikah, Talak dan
Rujuk Pegawai yang ditunjuk Menteri Agama, bila PPN berhalangan dilakukan
petugas yang ditunjuk, biaya Nikah, Talak dan Rujuk ditetapkan Menteri Agama.
b.
Pasal 2 terdiri dari ayat 1 s/d 3, yang isinya diantaranya, PPN membuat catatan
Nikah, Talaq dan Rujuk dan memberikan petikan catatan kepada yang
berkepentingan.
c.
Pasal 3 terdiri dari5 ayat, isinya antaranya; sanksi orang yang melakukan
nikah, talak dan rujuk yang tidak dibawah Pengawasan PPN, sanksi orang yang
melakukan Nikah, Talak dan Rujuk padahal bukan petugas.
d.
Pasal 4, isinya hal-hal yang boleh dihukum pada pasal 3 dipandang sebagai pelanggaran.
e.
Pasal 5 isinya peraturan yang perlu untuk menjalankan undang-undang ditetapkan
oleh Menteri Agama.
f.
Pasal 6 terdiri 2 ayat, isinya nama undang-undang, dan berlaku untuk daerah
luar Jawa dan Madura.
g.
Pasal 7, isinya undang yang berlaku untuk Jawa dan Madura.
4. Masa Setelah Lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
Sejarah
Lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pada dasarnya
pemikiran tentang perlunya undangundang perkawinan, bermula sejak jaman penjajahan
belanda. Salah satunya bisa dilihat dari hasil keputusan Kongres al-Islam I di
Surabaya pada tanggal 26 Februari sampai 1 Maret 1938. 22 Dan ini berlanjut
sampai ketika jabatan Menteri Agama dipegang oleh KH. Wahid Hasyim. Untuk
mewujudkan hal tersebut, pada Oktober 1950 dibentuk Panitia Penyelidik
Peraturaan dan Hukum Nikah, Talak, dan Rujuk (NTR) yang diketuai oleh Mr. Teuku Mohammad Hasan. Tugas dari panitia ini adalah meninjau kembali segala peraturan
mengenai perkawinan dan menyusun rancangan undang-undang yang selaras dengan
keadaan zaman. Sampai pada tahun 1954, panitia ini telah menghasilkan tiga
rancangan undang-undang, yakni RUU Perkawinan yang bersifat umum, RUU
Perkawinan bagi Umat Islam, dan RUU Perkawinan khusus bagi umat Kristen.
Rancangan yang dimajukan itu
selain berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki
keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain:
1)
Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak, untuk
mencegah kawin paksaan ditetapkan batas-batas umur 18 bagi laki-laki dan 15
bagi perempuan.
2)
Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
3)
Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama yang berlaku bagi orang
yang bersangkutan dan diatur sedemikian hingga dapat memenuhi syarat keadila.
4) Harta bawaan dan harta yang diperoleh
selama perkawinan menjadi milik bersama.
5)
Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri, berdasarkan alasan-alasan
yang tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan Hukum Islam.
6)
Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan mengesahkan anak,
hak dan kewajiban orang tua
terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian.
Pada tahun 1958, ketika jabatan Menteri Agama dipegang oleh K.H.
Moh. Ilyas, RUU Perkawinan bagi umat islam mendapat kesempatan untuk
disempurnakan dan diajukan ke parlemen, dengan pertimbangan mendahulukan
pemenuhan kebutuhan umat Islam sebagai penduduk mayoritas. Namun pada masa
sidang DPR, Sumarni dari fraksi PNI mengajukan pula sebuah RUU Perkawinan, yang
isinya mirip dengan RUU bersifat umum. Menurut Fraksi PNI bahwa Undang-undang
Perkawinan yang akan dibentuk haruslah mencakup semua golongan lapisan
masyarakatIndonesia tanpa harus membedakan agama, ras, dan suku tertentu.
Di sisi lain, Fraksi NU menegaskan bahwa dalam Negara yang
berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, seharusnya nilai dan pengertian tentang
perkawinan didefinisikan menurut ajaran agama, bukan semata-mata segi
keperdataan seperti halnya dengan perjanjian lain. Karena tidak ada
kesepakatan, pembahasan RUU perkawinan ini menemui jalan buntu.
Selanjutnya, pada tahun 1966 Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) dengan Ketetapan No. XXVIII/MPRS/1966 menyatakan dalam pasal 1
ayat (3), bahwa perlu segera diadakan Undang-undang tentang Perkawinan.
Sebagai respon, maka pada tahun 1967 dan 1968 pemerintah
menyampaikan dua buah rancangan Undang-undang kepada DPRGR, yaitu:
(1)
RUU tentang Pernikahan Ummat Islam dan
(2)
RUU tentang ketentuan Pokok Perkawinan. Kedua RUU ini dibicarakan oleh DPRGR,
namun akhirnya tidak disetujui berdasarkan keputusan tanggal 5 Januari 1968,
hal ini dilarenakan terdapat satu fraksi yang menolak dan dua fraksi yang
abstain, meskipun sejumlah tiga belas fraksi dapat menerimanya.
5. Masa Penerapan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dengan Kompilasi Hukum Islam
Perlu diketahui
bahwa sebelum terbentuknya Kompilasi Hukum Indonesia terjadi perubahan penting
dan mendasar yang telah terjadi dalam lingkungan Pengadilan Agama dengan
disyahkannya RUU-PA menjadi UU No 7 Tahun 1989, yang diajukan oleh menteri
Agama Munawir Sjadzali ke sidang DPR. Di
antara isinya sebagai berikut:
1.
Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukanya benar-benar telah
sejajar dan sederajat dengan peradilan umum, peradilam militer,dan peradilan
tata usaha negara.
2.
Nama, susunan, wewenang (kekuasaan) dan hukum acaranya telah sama dan seragam
di seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi hukum acara peradilan agama akan
memudahkan terwujudnya ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan
dalam lingkungan peradilan agama.
3.
Perlindungan kepada wanita telah ditingkatkan dengan jalan antara lain,
memberikan hak yang sama kepada istri dalam proses dan membela kepentingannya
di muka peradilan agama.
4.
lebih memantapkan upaya penggalian berrbagai asas dan kaidah hukum Islam
sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan pembinaan hukum nasional
melalui yurispondensi.
5.
Terlaksananya ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman
(1970).
6.
Terselengaranya pembangunan hukum nasional berwawasan nusantara yang sekaligus
berwawasan Bhineka Tunggal Ika dalam bentuk Undang-undang Peradilam Agama.
Namun keberhasilan umat Islam Indonesia dalam mensukseskan RUU-PA
menjadi Undang-undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989, tidaklah berarti
persoalan yang berkaitan dengan implementasi hukum Islam di Indonesia menjadi
selesai. Ternyata muncul persoalam krusial yang berkenaan dengan tidak adanya
keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap
persoalanpersoalan yang mereka hadapi. Hal ini disebabkan tidak tersedianya
kitab materi hukum Islam yang sama. Secara material memang telah ditetapkan 13
kitab yang dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab
Syafi’i. Akan tetapi tetap saja menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya
keseragaman keputusan hakim.
Berangkat dari realitas ini keinginan untuk meyusun “kitab hukum
islam” dalam membentuk kompilasi dirasakan semakin mendesak. Penyusunan
Kompilasi ini bukan saja didasarkan pada kebutuhan adanya keseragaman referensi
keputusan hukum PA di Indonesia,tetapi juga disadarkan pada keharusan
terpenuhinya perangkat-perangkat sebuah Peradilan yaitu kitab materi hukum
Islam yang digunakan di lembaga Peradilan tersebut.
Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil dengan gagasan
perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Gagasan tersebut disebapati,
sehingga dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB)
ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985, dengan mengangkat
Bushtanul sebagai Pemimpin Umum yang anggotanya meliputi para pejabat Mahkamah
Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras anggota Tim dan ulama-ulama,
cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka terumuslah KHI yang ditindaklanjuti
dengan keluarnya intruksi presiden No. 1 Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang
Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan. Inpres
tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tanggal 22
Juli 1991.
Setidaknya dengan adanya KHI itu,maka saat ini di Indonesia tidak
akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan Peradilan agama,karena kitab yang
dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama adalah sama. Selain itu fikih yang
selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang
berlaku dan mengikat seluruh umat Islam Indinesia. Lebih penting dari itu, KHI
diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia
digali dari tradisi-tradisi bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan
Psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.[7]
1.3
Sumber-sumber pembentukan hukum
Dalam pembentukan hukum harus
memenuhi:
(1) nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran
(2) nilai sosiologis sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku
di masyarakat, dan
(3) nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bangunan hukum nasional yang diharapkan adalah
bangunan hukum yang berlaku bagi semua warga negara tanpa memandang isme
keagamaan dan kesukuan. Upaya untuk
mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia bukanlah pekerjaan yang
mudah, karena Indonesia terdiri dari berbagai suku, budaya dan agama yang
berbeda, serta masih terdapatnya keanekaragaman hukum yang ditinggalkan oleh
bangsa penjajah. Menurut Ismail Saleh sebagaimana yang dikutip Farizal Nuh,[8]
dikatakan bahwa dalam pembangunan hukum nasional ada tiga dimensi yang perlu
diperhatikan yaitu: dimensi pemeliharaan, pembaharuan, dan penyempurnaan.
Pembaharuan hukum perlu dilakukan, terutama pembaharuan terhadap
aturan hukum yang masih merupakan peninggalan Belanda, sebab aturan hukum yang
merupakan produk pemerintahan Belanda tentu tidak sesuai nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila sebagai falsafah bangsa. Indonesia harus mempunyai
aturan hukum sendiri yang mencerminkan jati diri bangsa. Bahkan dalam satu
teori sosiologi hukum dari A.P. Craabree LLB sebagaimana dikutip Dadan
Muttaqien dikatakan bahwa “law is clothes the living body of society”, berarti
hukum adalah pakaian masyarakat yang harus sesuai ukuran dan jahitannya dengan
kebutuhan masyarakat. Intinya, hukum mengikuti kebutuhan masyarakat dan
mencerminkan kemaslahatan.[9]
Hukum keluarga merupakan hukum yang paling tua dibandingkan jenis
hukum lain, karena ketika berbicara keluarga maka yang perlu disepakati bahwa
keluarga itu merupakan unit terkecil dalam masyarakat, yang minimal terdiri
dari seorang suami dan seorang isteri. Keluarga terbentuk melalui perkawinan,
dan dengan memaknai adagium “ubi sociates ibi ius” (di mana ada masyarakat di
situ ada hukum), maka dapat dikatakan bahwa bagian dari hukum keluarga yang
paling tua adalah hukum perkawinan. Seperti yang dikatakan Muhammad Amin Summa
bahwa dari keluarga baru terbentuk masyarakat yang lebih banyak dan lebih luas,
maka sejak saat itu baru mulai berkembang hukum-hukum publik seperti hukum tata
negara, hukum administrasi negara, hukum pidana dan bidang-bidang hukum
lainnya.
Berbicara mengenai hukum keluarga, maka tidak terlepas dari
persoalan hukum perkawinan, sebab keluarga terbentuk melalui perkawinan. Setelah
terjadinya perkawinan maka terbentuk hubungan hukum antara isteri dengan suami,
termasuk pula hubungan yang terkait dengan harta dalam perkawinan. Selanjutnya
jika dari perkawinan itu lahir anak, maka terbentuk pula hubungan antara orang
tua dengan anak/anak-anak. Secara sederhana maka dapat dikatakan bahwa hukum
keluarga merupakan hukum yang mengatur hubungan suami dengan isteri, hubungan
antara orang tua dengan anak-anak, serta hubungan yang terkait dengan harta
benda perkawinan, atau aturan hukum mengenai hubungan hukum yang terjadi karena
adanya hubungan kekeluargaan, baik karena hubungan keluarga sedarah (pertalian
keluarga dari leluhur yang sama), maupun hubungan keluarga yang terbentuk
karena adanya ikatan perkawinan antara suami isteri (hubungan semenda).
Peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur hukum
keluarga di Indonesia belum ada, tetapi secara subtansial terjelmakan dalam UU
No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (PP No. 9 Tahun 1975)
tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari Buku I tentang Hukum
Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan dan Buku III tentang Hukum
Perwakafan.[10]
Ketiga peraturan perundang-undangan tersebut merupakan sumber hukum materiil
yang menjadi rujukan utama hukum keluarga dalam lingkungan Peradilan Agama, [11] sebagai
pengadilan yang salah satu kewenangannya adalah menangani masalah-masalah hukum
keluarga bagi orang yang beragama Islam.
Berbicara tentang sistem hukum perkawinan, maka perlu dipahami
bahwa sistem hukum yang dimaksudkan di sini adalah sistem hukum nasional yang
didasarkan pada landasan ideologi dan konstitusional negara (Pancasila dan UUD
1945), dengan kata lain merupakan sistem hukum yang dibangun di atas
kreativitas dan aktivitas yang didasarkan pada cita rasa dan rekayasa bangsa
sendiri, tetapi pada sisi lain juga tidak terlepas dari sistem hukum perkawinan
yang masih bercorak plurastik.
Bangsa Indonesia memiliki ciri khas
tersendiri yang diangkat dari nilai-nilai yang telah dimilikinya sebelum
membentuk suatu negara moderen. Nilai-nilai tersebut berupa nilai-nilai adat
istiadat, kebudayaan, serta nilai religius yang kemudian dikristalisasikan
menjadi suatu sistem nilai yang disebut Pancasila. Dalam upaya untuk membentuk
suatu persekutuan hidup yang disebut negara, maka bangsa Indonesia
mendasarkannya pada suatu pandangan hidup yang telah dimilikinya yaitu
Pancasila. Sesuai ciri
khasnya ini dan proses pembentukan negara, maka bangsa Indonesia mendirikan
negara yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan negara lain, oleh sebab
itu istilah negara hukum Indonesia tentunya harus dibedakan dengan istilah
negara hukum pada negara lain. Atas dasar ini pula ciri hukum di Indonesia
tidak dapat disamakan dengan ciri hukum yang berlaku di negara lain, tetapi
tidak berarti bahwa asas-asas hukum yang berlaku umum pada setiap negara yang
ada di dunia dan diakui oleh bangsa-bangsa lain diabaikan (dikesampingkan).
Sebenarnya perkawinan merupakan perbuatan hukum yang sangat erat
kaitannya dengan nilai-nilai agama, tetapi mengingat adanya plurarisme agama di
Indonesia, maka tidak mungkin membuat aturan hukum perkawinan yang semata-mata
hanya didasarkan pada satu nilai nilai agama tertentu dengan mengabaikan
nilai-nilai yang terdapat pada agama lain. Oleh sebab itu, dalam undang-undang
ini disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Penjelasan
Umum UU No. 1 Tahun 1974 angka 3 disebutkan pula bahwa sesuai dengan landasan
falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka undang-undang ini di satu
pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di lain pihak harus dapat pula
menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini.
Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan
ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.
Sesuai dengan Penjelasan Umum tersebut, terlihat bahwa Indonesia juga bukan
negara sekuler yang memisah antara agama dan negara. Bahkan
dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 ditegaskan pula bahwa perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Hal ini menunjukkan bukti bahwa walaupun negara
menginginkan adanya aturan hukum perkawinan yang merupakan produk negara
(legislatif), tetapi tidak berarti aturan hukum yang terdapat dalam hukum agama
ataupun kepercayaan seseorang dikesampingkan oleh negara, berhubung masalah
perkawinan sangat erat kaitannya dengan agama. Oleh sebab itu, menurut Sution
Usman Adji[12]
dikatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 denganpelaksanaannya dalam Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, menyangkut berbagai aspek, antara lain: aspek
sosial, aspek ekonomi, aspek budaya, aspek politik, aspek agama, aspek kejiwaan
dan aspek hukum.
Adanya rumusan kalimat “...
dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu” dalam Pasal
2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menunjukkan makna bahwa aspek agama tidak dapat
diabaikan oleh para pihak yang akan melangsungkan perkawinan, dengan kata lain
bahwa suatu perkawinan baru dianggap sah, jika pelaksanaannya telah sesuai
dengan ajaran agama yang dianut oleh para pihak yang melangsungkan perkawinan.
Berbeda misalnya dengan aturan hukum perkawinan yang terdapat dalam KUHPerdata
yang di dalam Pasal 26 disebutkan bahwa undang-undang memandang perkawinan dari
hubungan keperdataan. Menurut Subekti[13] bahwa
Pasal 26 ini hendak menyatakan sahnya perkawinan hanyalah perkawinan yang
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam KUHPerdata, sedangkan syaratsyarat
menurut hukum agama dikesampingkan. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 26
KUHPerdata tentunya tidak sesuai dengan negara hukum Indonesia yang berdasarkan
Pancasila, karena Indonesia bukan negara sekuler yang memisahkan antara agama
dengan negara, sedangkan salah satu aspek dalam perkawinan adalah aspek agama.
Berbeda dengan perkawinan dalam sistem Negara Hukum Pancasila,
sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka perkawinan tidak
lagi dapat dipandang hanya sebagai hubungan individual antara pria (suami) pada
satu sisi dengan wanita (isteri) pada sisi lainnya (dalam pengertian hubungan
yang hanya bersifat keperdataan), tetapi harus dipandang sebagai ikatan suci
(ikatan lahir bathin) yang didasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan Sidi Gazalba sebagaimana yang dikutip oleh Mohd. Idris[14] R. Subekti, Op. Cit, 1985, hlm. 23. 25 VOLUME
3 NO. 1 JURNAL ILMU HUKUM Ramulyo39 bahwa tidak merupakan perkawinan jika
ikatan lahir batin tersebut tidak bahagia atau perkawinan itu tidak kekal dan
“tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[15]
1.4
Tecoro-teori Keberlakuan Hukum Islam di Indonesia
1. Hukum Adat Pada Masa Klasik
Para ahli hukum
Islam sejak masa klasik sesungguhnya telah menyadari masalah pengaruh hukum
adat terhadap hukum Islam. Peran hukum adat dalam penciptaan hukum Islam sangat
penting. Berbagai adat
masyarakat Arab pra Islam diteruskan pemberlakuannya selama masa Rasulullah.
Fakta ini mengindikasikan bahwa Islam bukanlah suatu bentuk revolusi hukum yang
secara langsung ditujukan untuk melawan adat yang telah diketahui atau
dipraktekkan oleh masyarakat Arab pra Islam. Sebaliknya, Nabi Muhammad dalam
kapasitasnya sebagai pembuat hukum dari sebuah agama yang baru, banyak
menciptakan aturan-aturan yang melegalkan hukum adat masyarakat Arab, sehingga
memberikan tempat bagi praktek hukum adat tersebut di dalam sistem hukum Islam
yang baru. Banyak contoh adat Arab pra-Islam yang dilegalkan dalam hukum Islam
masa Nabi seperti (1) mempertahankan perbuatan Nabi Ibrahim terutama yang
berhubungan dengan ka’bah dan khitan, (2) Qis}ās} dan pembayaran diyyat diadopsi
dari masyarakat Arab, Islam hanya memasukkan prinsip keseimbangan, (3) Dalam
hukum keluarga, Islam hanya mengganti beberapa hal yang dianggap tidak
konsisten dengan prinsip-prinsip alasan hukum yang masuk akal dan landasan
moral yang baik seperti: poliandri, hubungan sex tidak sah, pembunuhan bayi
perempuan dan lain-lain, akan tetapi Islam tetap mempertahankan atau
memodifikasi poligami, mahar dan lain-lain.
Contoh-contoh dilegalkannya hukum adat dalam hukum Islam tersebut
memberikan suatu kejelasan bahwa peran hukum adat tidak hanya terbatas pada
pengambilan inisiatif dalam hukum, ketika sumber hukum yang lain tidak
memberrikan jawaban. Adat dalam kenyataannya juga mempunyai peran yang penting
yang harus dimainkan dalam masalah aplikasi hukum yang muncul. Makanya di
banyak ayat dalam al-Qur’ān ditemukan berbagai macam perintah yang tidak dapat
diaplikasikan dengan tepat tanpa mempergunakan adat sebagai bahan pertimbangan.
Atas dasar itulah maka para ahli hukum Islam pada kurun waktu
berikutnya memformulasikan kaidah hukum “al-ādah muhakkamah”. Para fuqaha’
berikutnya mengaktualisasilkan peran adat dengan berbagai macam persyaratan
sebagai berikut:
(1)
adat harus secara umum dipraktekkan oleh anggota masyarakat, atau adat harus
dipraktekkan oleh sebagian kelompok masyarakat jika tersebut memang hanya
bersifat umum untuk kelompok masyarakat tertentu.
(2)
adat harus berupa suatu kebiasaan yang sedang berjalan dalam masyarakat pada
waktu adat akan dijadikan sebagai hukum.
(3)
adat harus dipandang tidak sah “ab initio” jika adat tersebut bertentangan
dengan ketentuan yang eksplisit dari al-Qurān dan h}adīs|.
(4)
dalam hal perselisihan, adat akan dipakai hanya ketika tidak ada penolakan yang
eksplisit sifatnya untuk menggunakan adat dari salah satu pihak yang terlibat.
2. Masa Penjajahan Kolonial
Dalam evolusi
kekuasaan Indonesia, konflik antara kebutuhan pranata hidup keseharian dan
tuntunan sistem keimanan Islam senantiasa memainkan peranan yang sangat
penting. Konflik tersebut dapat dilihat dari pergumulan antara hukum Islam dan
hukum adat di Indonesia dari masa ke masa. Ada kalanya konflik itu timbul karena memang ada pertentangan di
antara kedua sistem hukum tersebut, namun tidak jarang pula konflik itu terjadi
disebabkan oleh persoalan-persoalan politis yang memang sengaja diciptakan oleh
piha-pihak tertentu.
1.Teori
Receptio in Complexu
Kehadiran organisasi perdagangan Belanda di Hindia Timur, atau yang
lebih dikenal dengan sebutan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) adalah
cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan Indonesia. Sebagai sebuah
organisasi dagang, VOC memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat
dimungkinkan sebab Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangan
tangannya di kawasan Hindia Timur, disamping menjalankan fungsi perdagangan,
VOC juga mewakili Kerajaan Hindia Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi
pemerintahan, tentu saja dengan memberlakukan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penerapan hukum Belanda itu menemukan kesulitan
disebabkan penduduk pribumi merasa berat untuk menerima hukum yang asing bagi
mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa
yang selama ini telah mereka jalankan. Dalam fase ini, kemudian dikenal teori
receptio in complexu yang dikemukakan oleh Salomon Keyzer dan Lodewijk Willem
Christian Van Den Berg (1845–1927). Teori ini menyatakan bahwa ”bagi setiap
penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Jika orang itu memeluk Islam
maka hukum Islamlah yang berlaku baginya, demikian juga bagi pemeluk agama
lain.” Namum demikian, hukum Islam yang berlaku tetaplah hanya dalam masalah
hukum keluarga (perkawinan dan kewarisan) saja. Teori ini berlaku sejak adanya
kerajaan Islam sampai awal masa VOC, yakni ketika Belanda masih belum
mencampuri semua persoalan hukum yang berlaku di masyarakat.
Pengaruh teori receptio in complexu pada kebijakan kolonial
terlihat jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan, seperti Resolusi
Pemerintah Hindia Belanda (Resolutie der Indische Regeering) tanggal 25 Mei
1670, resolusi ini berisi kompilasi hukum Islam mengenai perkawinan dan
kewarisan yang diaplikasikan di pengadilan- pengadilan VOC, Koleksi Hukum Jawa
Primer yang diambilkan dari Kitab Hukum Islam Mugarrar untuk
pengadilan-pengadilan umum di Semarang, dan peraturan- peraturan lain yang berisi
hukum Islam yang diberlakukan di Cirebon, Goa, dan di beberapa wilayah lainnya.
Terlepas dari faktor politik yang ada, munculnya teori receptio in
complexu ini menunjukkan bahwa pada masa itu masyarakat Indonesia sudah
mempunyai dua sistem hukum yang sangat kuat, yaitu sistem hukum agama-agama dan
sistem hukum adat. Dua sistem hukum tersebut adalah cerminan dari apa yang ada
dalam masyarakat. Jadi, teori receptio in complexu ini pada dasarnya merupakan
legitimasi terhadap apa yang tercermin dalam masyarakat.
Ketika Belanda dengan VOC-nya semakin kuat dalam menjarah kekayaan
Indonesia, maka sejak 25 Mei 1760, Belanda secara resmi menerbitkan peraturan
Resolutio der Indische Regeering yang kemudian dikenal dengan Compendium
Freijer. Peraturan ini tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam dalam bidang
kekeluargaan, tetapi juga menggantikan kewenangan lembaga peradilan Islam yang
dibentuk oleh para raja Islam dengan peradilan buatan Belanda.9 Kemudian dengan
staatstabled No. 152/1882 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama di Jawa dan
Madura, dengan tanpa mengurangi legalitas mereka dalam melaksanakan tugas
peradilan sesuai dengan ketentuan fiqh. Keberadaan hukum Islam di Indonesia
sepenuhnya baru diakui oleh Belanda setelah dicabutnya Compendium Freijer secara
berangsur-angsur, dan terakhir dengan staatstabled No. 354 /1913.[16]
2.
Teori Receptie
Ketika Peradilan Agama yang
dibentuk oleh pemerintah Belanda telah berjalan dengan semestinya, pemerintah
Belanda malah merasa bahwa hukum Islam benar- benar telah diberlakukan oleh
umat Islam di Indonesia dan mereka merasa terancam dengan itu karena mereka
menganggap bahwa Islam adalah satu-satunya kekuatan paling mengancam dan dapat
menggoyahkan kekuasaan mereka atas Indonesia. Untuk mengantisipasi hal itu,
pemerintah kolonial mengintrodusir istilah het indische adatrecht atau hukum
adat Indonesia. Gagasan ini disponsori oleh seorang penasehat pemerintah Hindia
Belanda tentang masalah-masalah Islam dan anak negeri jajahan, Cristian Snouck
Hurgronje (1857-1936) dan Kemudian dikembangkan oleh Cornelis Van Vallenhoven
(1874-1933) dan Ten Haar (1892-1941), mereka mempunyai latar belakang keahlian
di bidang hukum adat. 11 Dalam gagasan mereka, intinya bahwa hukum yang berlaku
bagi orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat
berlaku apabila telah diresepsi atau diterima oleh hukum adat. Jadi, dalam hal
ini hukum adatlah yang menentukan ada atau tidaknya hukum IsIam. Dari sinilah
kemudian lahir teori receptie yang menyatakan, “tidak semua bagian dari hukum
agama dapat diterima dalam hukum adat, hukum islam hanyalah beberapa bagian
tertentu saja dari hukum adat,” yakni terutama bagian dari hidup manusia yang
sifatnya sangat pribadi yang berhubungan erat dengan kepercayaan batin,
misalnya hukum kekeluargaan, hukum perkawinan dan hukum waris. Teori receptie
ini terlihat jelas dalam beberapa kebijakan kolonial seperti dalam Staatblad
No. 116 tahun 1937 yang menyatakan juridiksi masalah kewarisan dipindah dari
Pengadilan Agama kepada Pengadilan Umum, dimana perkara yang muncul tidak
diputuskan menurut hukum Islam tetapi menurut hukum adat.
Muatan pokok teori receptie adalah prinsip devide et impera
(politik adu domba) yang bertujuan untuk menghambat dan menghentikan meluasnya
hukum Islam dan membentuk konsep hukum tandingan yang mendukung politik pecah
belah pemerintahan kolonial. Musuh kolonialisme menurut Hurgronje bukan Islam
sebagai agama melainkan Islam sebagai doktrin politik. Ia melihat kenyataan
bahwa Islam seringkali menimbulkan ancaman terhadap kelangsungan kekuasaan
Belanda.
Dalam rangka menerapkan teori receptie itu, Belanda mendirikan
Kantor Urusan Pribumi (Kantoor Voor Inlandsche zaken), lembaga inilah yang
menjadi titik awal di kemudian hari sebagai cikal bakal Kementerian Agama yang
ada sekarang ini. Lembaga yang dipimpin oleh Snouck ini lebih banyak terfokus
pada kalangan Islam secara khusus, meski juga mengatur hubungan antar agama
secara umum. Sementara itu dalam ranah pendidikan Hindia Belanda memberikan
kontrol dan pengawasan yang ketat, bahkan membatasi gerak pendidikan Islam.
Pada saat yang sama, pemerintah kolonial menggalakkan sekolah-sekolah umum,
seperti pendirian HIS (HollandschInlandsche School; Sekolah Pribumi Belanda).
Di samping itu, kebijakan kolonial juga memberikan suntikan subsidi, bahkan
pengembangan sekolah-sekolah yang dikelola misi-misi Kristen maupun Katolik.
Mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Laiden pun dicekoki denga teori
receptie dalam pemberlakuan hukum di Indonesia, hal yang sama juga terjadi di
Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta. Alumni dari Perguruaan Tinggi ini banyak yang
menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi negeri di Indonesia, teori ini
kemudian juga yang diajarkan kepada para mahasiswa dan demikian seterusnya yang
terjadi, sehingga sebagian sarjana hukum di Indonesia mengikuti pemahaman teori
receptie ini. Akibatnya setiap pembicaraan yang menyangkut kontribusi hukum
Islam dalam perundang-undangan nasional selalu saja ada pihak-pihak yang
menggagalkannya
3. Masa Kemandirian
Bangsa Gaung
dan pengaruh teori receptie ternyata berjalan cukup lama dan telah menguasai
pikiran hukum masyarakat Indonesia. Teori itu telah tertanam begitu kuat dalam
alam pikiran mereka. Seakan-akan mereka telah merasakan itu sebagai suatu hal
yang benar dan biasa saja, bahwa hukum Islam itu bukan hukum di Indonesia. Telah tertanam pada pikiran orang, bahwa yang berlaku adalah hukum
adat dan hanyalah kalau hukum Islam telah menjadi hukum adat, barulah menjadi
hukum. Teori receptie ini berpengaruh bukan saja pada para sarjana yang hidup
pada masa-masa pra- kemerdekaan dan diberlakukannya Undang-Undang Dasar 1945
yang secara formal menghapus teori tersebut, tetapi juga hingga pada
pertengahan dekade 70-an, banyak hakim di lingkungan Peradilan Umum yang
diminta menyelesaikan kasus warisan antara orang Islam, diselesaikan menurut
hukum adat.
1.Teori
Receptie Exit
Fenomena teori receptie yang mengakar kuat di masyarakat itu pada
akhirnya membuat para tokoh Islam bersimpati atas keadaan hukum Islam di
Indonesia saat itu, diantaranya adalah Hazairin. Ia adalah seorang ahli hukum
adat dan hukum Islam Indonesia yang sangat menentang teori receptie.
Menurutnya, teori receptie itu memang sengaja diciptakan oleh Belanda untuk
merintangi kemajuan Islam di Indonesia. Teori itu sama dengan “teori iblis”
karena mengajak umat Islam untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah
dan Rasul-Nya. Untuk melawan teori receptie itu, Hazairin kemudian mencetuskan
teori receptie exit. Menurutnya setelah Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya
dan ditetapkannya UUD 1945 sebagai undang-undang dasar negara, maka walaupun
Aturan Peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya
tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan
pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak
berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori receptie yang dianut oleh pemerintah kolonial harus
exit (keluar) karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Menurut Hazairin Indonesia sangat akrab dengan keyakinan akan Tuhan
yang Maha Esa. Dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 selalu tercantum
kata-kata “Ketuhana Yang Maha Esa”. Walaupun kata-kata itu merupakan hasil
kompromi untuk menggantikan “Ketuhanan dengan menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk- pemeluknya,” tiada kandungan niat untuk menyingkirkan hukum agama.
Dengan istilah tersebut hukum agama yang diberlakukan di Indonesia bagi
penganut- penganutnya bukan hukum Islam saja, tetapi hukum agama-agama yang
lain juga berlaku. Oleh sebab itu, setelah merdeka, hendaknya orang Islam
Indonesia mentaati hukum Islam karena hukum itu bersumber dari Allah dan
Rasul-Nya, bukan karena hukum Islam itu telah diterima oleh hukum adat
sebagaimana dijelaskan dalam teori receptie. Ini berarti pada masa kemerdekaan
ini, bagi orang Islam diberlakukan hukum Islam. Dengan hadirnya teori Hazairin
ini maka dimulailah babak baru pembaruan fikih dengan nuansa ke-Indonesiannya.
Untuk memperkuat teorinya itu, Hazairin menafsirkan pasal 29 UUD
1945 ayat (1) sebagai berikut:
1.
Dalam negara Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang
bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, atau yang bertentangan
dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bagi umat Nasrani, atau yang bertentangan
dengan kaidah-kaidah agama Hindu-Bali bagi umat Hindu-Bali, atau yang
bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang Budha.
2.
Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam,
syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syari’at Hindu-Bali bagi orang
Hindu-Bali. Sekadar menjalankan syari’at tersebut memerlukan perantaraan
kekuasaan negara.
3.
Syari’at yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya,
dan karena itu dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang
bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu
menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing.
Pandangan Hazairin tersebut sesungguhnya sangat realistis karena
sejalan dengan bukti-bukti historis yang ada. Misalnya, di Aceh masyarakatnya
menghendaki agar masalah-masalah perkawinan dan mengenai harta, termasuk
masalah kewarisan, diatur menurut hukum Islam. Ketentuan adat dalam upacara
perkawinan, sejauh tidak bertentangan dengan hukum Islam, dapat diterima.21
Pandangan Hazairin tersebut juga sejalan dengan pandangan Ismail Sunny yang
menyatakan bahwa setelah Indonesia merdeka dan UUD 1945 berlaku sebagai dasar
Negara kendatipun tanpa memuat tujuh kata dari Piagam Jakarta maka teori
receptie dinyatakan tidak berlaku lagi dan kehilangan dasar hukumnya.
Selanjutnya hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam
sesuai dengan pasal 29 UUD 1945. Era
ini disebut oleh Ismail Sunny sebagai periode penerimaan hukum Islam sebagai
sumber persuasif (persuasive source).
2.
Teori Receptie a Contrario
Hal yang senada dengan teori receptie exit juga dikemukakan oleh
Sajuti Thalib, salah seorang murid Hazairin. Sajuti Thalib berpendapat bahwa
hukum Islamlah yang berlaku bagi umat Islam dan hukum adat baru bisa berlaku jika
tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pendapatnya ini kemudian dikenal dengan
teori receptie a contrario (penerimaan yang sebaliknya). Sajuti Thalib tidak
setuju dengan teori Van Den Berg yang mengatakan bahwa hukum adat bangsa
Indonesia adalah hukum adat agama sendiri, seakan-akan hukum adat asli itu
tidak ada sama sekali. Hukum adat menurut Sajuti Thalib tetap ada karena
berasal dari budaya serta tradisi suatu bangsa dan berlaku jika tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Bahkan ia juga lebih tidak setuju lagi dengan
teori receptie Snouck Hurgronje yang merendahkan hukum Islam yang bersumber
dari al-Qur’an dan sunnah, serta mengangkat derajat hukum adat.
Teori receptie a contrario ini nampaknya mirip dengan teori
receptie exit yang dikembangkan oleh Hazairin. Perbedaan keduanya terletak pada
landasan pemikirannya. Pada teori receptie exit, landasan yang dipakai oleh
Hazairin adalah bahwa sejak berdirinya Republik Indonesia pada tahun 1945, maka
tidak menerima pemahaman rumusan pada Aturan Peralihan hanyalah pada tataran
formal belaka. Sedangkan landasan pemikiran pada teori receptie a contrario
adalah bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang merdeka, sesuai dengan
cita-cita batin, cita-cita moral, dan kesadaran hukum kemerdekaan, berarti ada
keleluasaan untuk mengamalkan ajaran agama.
Daud Ali mencoba menganalisis mengapa hukum Islam yang berlaku di
Indonesia hanya terbatas dalam hukum mu’amalat saja, atau lebih sempit lagi,
hukum keluarga, kewarisan, dan perwakafan. Ia memilah hukum Islam di Indonesia
menjadi dua. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis, yaitu
hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda
lainnya yang disebut hukum mu’amalat. Kedua, hukum Islam yang bersifat normatif
yang mempunyai sanksi. Hukum Islam yang kedua ini dapat berupa ibadah murni
atau hukum pidana. Masalah pidana menurut Daud Ali belum memerlukan peraturan
karena lebih bergantung pada kesadaran dan tingkatan iman-taqwa umat Islam
Indonesia sendiri.
Sejak tahun 1974, hubungan antara hukum Islam dengan hukum adat
mulai memasuki babak harmonis sebagaimana pendapat Daud Ali sebagai berikut:
(1) secara formal yuridis, hukum Islam dapat berlaku langsung tanpa melalui
hukum adat, (2) hukum Islam sama kedudukannya dengan hukum adat dan hukum
barat, dan (3) Republik Indonesia dapat mengatur suatu maslah dengan hukum
Islam sepanjang pengaturan itu untuk memenuhi kebutuhan hukum khusus umat
Islam.
3.
Teori Eksistensi
Untuk mempertegas makna teori receptie a contrario dalam
hubungannya dengan hukum nasional, Ichtiyanto mengemukakan teori Eksistensi.
Teori eksistensi mengokohkan keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional.
Menurutnya, hukum Islam: (1) exist (ada) sebagai bagian integral dari hukum
nasional, (2) exist dengan kemandiriannya, dalam arti kekuatan dan kewibaannya
diakui sebagai hukum nasional dan diberi status sebagai hukum nasional, (3)
exist dalam arti norma hukum Islam sebagai penyaring bahan-bahan hukum
nasional, dan (4) exist sebagai bahan dan sumber utama hukum nasional.26 Jadi,
secara eksistensial kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional merupakan
sub-sistem dari hukum nasional. Karena itu hukum islam juga mempunyai peluang
untuk memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum
nasional, meski harus diakui problema dan kendalanya yang belum pernah usai.
4. Reformulasi Hukum Islam di Indonesia: Menuju Fiqh Indonesia
Munculnya
gerakan reformasi terhadap rigiditas (kekakuan) hukum Islam melahirkan sebuah
konsep fiqh yang lebih berbasis lokal atau dapat dikatakan sebagai fiqh
keindonesiaan. Keindonesiaan merupakan kelanjutan dari ”Gerakan Kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah” tetapi sekaligus merupakan sikap kembali kepada sikap dan
pola pikir tradisional yang mempertahankan adat tetapi ditolak oleh kaum
reformis. Kaum reformis
bercita-cita untuk membangun hukum Islam yang berciri khas Indonesia dengan
cara membebaskan budaya Indonesia dari budaya Arab dan menjadikan adat
Indonesia sebagai salah satu sumber hukum Islam di Indonesia. Gerakan ini
ditandai dengan munculnya gagasan fiqh Indonesia.
Pada awal tahun 1950, Hazairin menawarkan konsep Mazhab Nasional dalam arti “mazhab” sebagai pengertian yang sebenarnya bersandar pada al-Qur’an, Sunnah dan “Nasional” yakni Indonesia, dengan maksud agar hukum Islam di Indoensia menjadi “praktis” dijalankan oleh umatnya. Walaupun bertulang punggung pada mazhab Syafii, tetapi Mazhab Nasional membatasai ruang lingkupnya pada hukum-hukum non-ibadah yang belum dijadikan undang-undang oleh negara. Pengaruh secara tidak langsung dari Mazhab Nasional yang dapat dirasakan pada masa sekarang adalah dengan adanya Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam. Ini merupakan bukti adanya jalan lain bagi masyarakat Indonesia kontemporer terhadap solusi yang memudahkan kitab rujukan. 28 Pada tahun 1987, Munawir Sjadzali juga menawarkan kaji ulang terhadap interpretasi hukum Islam, dengan menekankan pada perubahan ’urf, maşlah}at, dan mafsadat, yang populer dengan ”Reaktualisasi hukum Islam”, walau Munawir menyebutnya ”Dinamika Hukum Islam”. Gagasan ini dilatarbelakangi oleh semakin membudayanya “sikap mendua” di kalangan umat Islam dalam beragama. Di tahun yang sama pula, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengemukakan gagasan ”Pribumisasi Islam”.[17]
1.1 Kesimpulan
Terma hukum yang kita kenal berasal dari bahasa Arab ‘hukmu’
(mufrad) – ‘ahkam’ (jama’) yang diderivasikan dari kata kerja
‘hakama-yahkumu-hukm’ yang berarti al-qadha` bi al-’adl, yakni memutuskan
perkara dengan adil. Orang yang menetapkan hukum disebut al-hakim, dan bentuk
jamaknya adalah al-hukkam.
Berdasarkan tertimologi para pakar maka dapat disimpulkan bahwa
dalam hukum terkandung unsur-unsur:
1.Peraturan
mengenai tingkah laku manusia
2.Dibuat
atau diciptakan oleh otoritas yang berwenang
3.Bersifat
memaksa agar ditaati
4.Bertujuan
mengatur tata tertib kehidupan
5.Sanksi
terhadap pelanggaran. Terma hukum yang kita kenal berasal dari bahasa Arab
‘hukmu’ (mufrad) – ‘ahkam’ (jama’) yang diderivasikan dari kata kerja
‘hakama-yahkumu-hukm’ yang berarti al-qadha` bi al-’adl, yakni memutuskan
perkara dengan adil. Orang yang menetapkan hukum disebut al-hakim, dan bentuk
jamaknya adalah al-hukkam.
Sedangkan
perkawinan/pernikahan itu sendiri berarti: menghimpun. Dalam pengertian fiqih,
nikah adalah akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri
dengan lafal nikah/kawin, sebagaimana dikutip dari buku 'Tajdid Nikah Dalam
Perspektif Hukum Islam' karya Drs Sutaji, M.HI,
Selain itu, menurut kompilasi hukum Islam, perkawinan adalah akad
yang kuat atau mistaqon gholidhon untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya adalah ibadah.
Sejarah
perkembangan hukum
1. Masa
Penjajahan Belanda
Di
masa penjajahan Belanda hukum perkawinan yang berlaku adalah Compendium
Freijer, yaitu kitab hukum yang berisi aturan-aturan hukum Perkawinan dan hukum
waris menurut Islam.
2.
Masa Penjajahan Jepang
Pada tahun 1942 Belanda meninggalkan Indonesia, dan digantikan oleh
Jepang. Kebijakan Jepang terhadap peradilan agama tetap meneruskan kebijakan
sebelumnya. Kebijakan tersebut dituangkan dalam peraturan peralihan Pasal 3
undang-undang bala tentara Jepang (Osamu Sairei) tanggal 7 Maret 1942 No.1.
hanya terdapat perubahan nama pengadilan agama, sebagai peradilan tingkat
pertama yang disebut “Sooryoo Hooim” dan
Mahkamah Islam Tinggi, sedangkan tingkat banding disebut “kaikyoo kootoohoin”.
3. Sejarah
Hukum Perkawinan Islam pada Masa Setelah Kemerdekaan Sebelum Lahirnya
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Setelah
merdeka, pemerintah RI telah membentuk sejumlah peraturan perkawinan Islam. Di
antaranya Undangundang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk.
4.
Masa Setelah Lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Sejarah Lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pada dasarnya pemikiran tentang perlunya undangundang perkawinan, bermula sejak
jaman penjajahan belanda. Salah satunya bisa dilihat dari hasil keputusan
Kongres al-Islam I di Surabaya pada tanggal 26 Februari sampai 1 Maret 1938. 22
Dan ini berlanjut sampai ketika jabatan Menteri Agama dipegang oleh KH. Wahid
Hasyim. Untuk mewujudkan hal tersebut, pada Oktober 1950 dibentuk Panitia
Penyelidik Peraturaan dan Hukum Nikah, Talak, dan Rujuk (NTR) yang diketuai
oleh Mr. Teuku Mohammad Hasan.
5. Masa Penerapan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dengan Kompilasi Hukum Islam
Perlu diketahui bahwa sebelum terbentuknya Kompilasi Hukum
Indonesia terjadi perubahan penting dan mendasar yang telah terjadi dalam
lingkungan Pengadilan Agama dengan disyahkannya RUU-PA menjadi UU No 7 Tahun
1989, yang diajukan oleh menteri Agama Munawir Sjadzali ke sidang DPR.
Sumber
pembentukan hukum
Dalam pembentukan hukum harus memenuhi:
(1) nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan dan kebenaran
(2) nilai sosiologis sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku
di masyarakat, dan
(3) nilai yuridis yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bangunan hukum nasional yang diharapkan adalah
bangunan hukum yang berlaku bagi semua warga negara tanpa memandang isme
keagamaan dan kesukuan.
Bangsa Indonesia memiliki ciri khas tersendiri yang diangkat dari
nilai-nilai yang telah dimilikinya sebelum membentuk suatu negara moderen.
Nilai-nilai tersebut berupa nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan, serta nilai
religius yang kemudian dikristalisasikan menjadi suatu sistem nilai yang
disebut Pancasila. Dalam upaya untuk membentuk suatu persekutuan hidup yang
disebut negara, maka bangsa Indonesia mendasarkannya pada suatu pandangan hidup
yang telah dimilikinya yaitu Pancasila.
Meskipun begitu Indonesia bukan negara sekuler yang memisahkan
agama dengan negara, bahkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
ditegaskan pula bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan
kepercayaannya
itu.
Teori
keberlakuan hukum
1.
Hukum Adat Pada Masa Klasik
Para ahli hukum Islam sejak masa klasik sesungguhnya telah
menyadari masalah pengaruh hukum adat terhadap hukum Islam. Peran hukum adat
dalam penciptaan hukum Islam sangat penting.
2.
Masa Penjajahan Kolonial
Dalam evolusi kekuasaan Indonesia, konflik antara kebutuhan pranata
hidup keseharian dan tuntunan sistem keimanan Islam senantiasa memainkan
peranan yang sangat penting. Konflik tersebut dapat dilihat dari pergumulan
antara hukum Islam dan hukum adat di Indonesia dari masa ke masa.
3.
Masa Kemandirian
Bangsa Gaung dan pengaruh teori receptie ternyata berjalan cukup
lama dan telah menguasai pikiran hukum masyarakat Indonesia. Teori itu telah
tertanam begitu kuat dalam alam pikiran mereka. Seakan-akan mereka telah
merasakan itu sebagai suatu hal yang benar dan biasa saja, bahwa hukum Islam
itu bukan hukum di Indonesia.
4.
Reformulasi Hukum Islam di Indonesia: Menuju Fiqh Indonesia
Munculnya gerakan reformasi terhadap rigiditas (kekakuan) hukum Islam melahirkan sebuah konsep fiqh yang lebih berbasis lokal atau dapat dikatakan sebagai fiqh keindonesiaan. Keindonesiaan merupakan kelanjutan dari ”Gerakan Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” tetapi sekaligus merupakan sikap kembali kepada sikap dan pola pikir tradisional yang mempertahankan adat tetapi ditolak oleh kaum reformis.
1.2
Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesemournaan. Maka dari
itu kami membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk
menyempurnakan makalah ini.
1.3
Daftar putaka
1.Victor M. Situmorang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 110-112
2. Chatib
Rasyid. Anak Lahir Diluar Nikah (Secara Hukum) Berbeda Dengan Anak Hasil Zina
(Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK NO. 46/PUU-VII/2012). Seminar Status Anak
Di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN
Walisongo Semarang
3. J Satrio.
Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005: hlm. 109
4. http://fhydiaputri.blogspot.com/2014/12/definisi-pengertian-hukum-menurut-para.html
5. https://wolipop.detik.com/hijab-update/d-5162600/pernikahan-dalam-islam-tujuan-syarat-dan-haditsnya-lengkap
6. https://core.ac.uk/download/pdf/196141533.pdf
7. https://core.ac.uk/download/pdf/196141533.pdf
8. Farizal Nuh,
“Kontribusi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional (Tinjauan Perspektif
dan Prospektif)” http://pabondowoso.com, diakses tanggal 17 November 2011.
9. Dadan
Muttaqien, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
UII-Press, Yogyakarta, Edisi Kedua, 1999, hlm. 80.
10. Ahmad
Zaenal Fanani, “Membumikan Hukum Keluarga Berperspektif Keadilan Jender”
Makalah, Bahan Penyuluhan Hukum UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU
No. 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 2002, hlm. 3.
11.Terkait
kewenangan Peradilan Agama terdapat dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7
12. Sution
Usman Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm.
3.
13. R. Subekti,
Op. Cit, 1985, hlm. 23.
[1] Victor M.
Situmorang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2002, hlm. 110-112
[2] Chatib Rasyid. Anak Lahir Diluar Nikah (Secara Hukum) Berbeda Dengan Anak Hasil Zina (Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK NO. 46/PUU-VII/2012). Seminar Status Anak Di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN Walisongo Semarang
[3] J Satrio.
Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2005: hlm. 109
[4]
http://fhydiaputri.blogspot.com/2014/12/definisi-pengertian-hukum-menurut-para.html
[5] https://wolipop.detik.com/hijab-update/d-5162600/pernikahan-dalam-islam-tujuan-syarat-dan-haditsnya-lengkap
[6]
https://core.ac.uk/download/pdf/196141533.pdf
[8] Farizal Nuh,
“Kontribusi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional (Tinjauan Perspektif
dan Prospektif)” http://pabondowoso.com, diakses tanggal 17 November 2011.
[9] Dadan
Muttaqien, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, UII-Press, Yogyakarta, Edisi Kedua, 1999, hlm. 80.
[10] Ahmad Zaenal
Fanani, “Membumikan Hukum Keluarga Berperspektif Keadilan Jender” Makalah,
Bahan Penyuluhan Hukum UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 1
Tahun 1974 tetang Perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam, Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, Jakarta, 2002, hlm. 3.
[11] Terkait
kewenangan Peradilan Agama terdapat dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama jo UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7
[12] Sution Usman
Adji, Kawin Lari dan Kawin Antar Agama, Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm. 3.
[13] R. Subekti, Op. Cit, 1985, hlm. 23.
[14] Lihat dalam
Mohd. Idris Ramulyo (1), Op. Cit., hlm. 44. Lihat juga dalam Mohd. Idris
Ramulyo (2), Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undangundang Nomor 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 2.
[15] https://media.neliti.com/media/publications/9129-ID-sistem-hukum-perkawinan-pada-negara-hukum-berdasarkan-pancasila.pdf
[16] 0 Sebelum adanya staatstabled 1913 No. 354, hukum Islam memang diakui sebagai otoritas hukum, namun demikian keberadaan dan bentuknya masih sama dengan hukum adat yang tidak tertulis sebagaimana selayaknya peraturan perundang-undangan. Dan yang ada hanyalah kitab-kitab fiqh yang masih berbentuk kajian ilmu hukum Islam dalam berbagai macam mazhab, walaupun mayoritasnya adalah mazhab Syafi’i. Lihat, Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), 15-29.
[17]http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=1004455&val=15206&title=Telaah%20Atas%20Teori-teori%20%20Pemberlakuan%20Hukum%20Islam%20Di%20Indone
itulah contoh makalah hukum perkawinan islam di indonesia, kalian bisa mendownloadnya dalam bentuk PDF berikut ini: Download
Posting Komentar untuk "Contoh Makalah Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia"