Makalah Perkawinan Campuran
D-viralz.com | Hai sahabat pembaca sekalian, disini saya akan berbagi tentang contoh makalah yang berkaitan dengan perkawinan campuran. materi ini merupakan materi yang dipelajari oleh mahasiswa mahasiswa jurusan hukum keluarga.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sebagai makhluk sosial, hidup secara bersama
bagi manusia merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik
kebutuhan yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Demikian pula bagi
seorang laki-laki ataupun seorang perempuan yang telah mencapai usia tertentu
maka ia tidak akan bisa lepas dari kebutuhan akan hidup bersama tersebut.
Seseorang akan berkeinginan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan melaluinya
bersama orang lain yang bisa dijadikan sebagai teman hidup untuk berbagi suka
maupun duka. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai
pasangan suami isteri yang terikat oleh aturan (baik agama maupun hukum)
sehingga menimbulkan adanya hak dan kewajiban antara keduanya, inilah yang disebut
sebagai sebuah ikatan perkawinan.
Perkawinan berarti berkumpulnya dua insan yang
semula terpisah dan berdiri sendiri menjadi satu kesatuan yang utuh dan
bermitra. Dengan demikian perkawinan telah menjadikan seseorang yang tadinya
sendiri menjadi berpasangan dan saling melengkapi.
Perkawinan atau pernikahan tidak selamanya
melibatkan dua insan (laki-laki dan perempuan) yang memiliki kesamaan
kepercayaan yang dianut atau kesamaan hukum yang dipatuhi. Pernikahan bisa saja
terjadi diantara dua insan (laki-laki dan perempuan) yang berbeda keyakinan
atau agama yang dianut atau berbeda hukum atau negara, pernikahan inilah yang
dinamakan dengan pernikahan atau “perkawinan campuran”.
Di Indonesia perkawinan campuran antar agama
atau negara dapat dilangsungkan jika kedua mempelai memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan oleh hukum. Untuk itu makalah ini dibuat untuk membahas secara
singkat hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan campuran antar agama dan
negara.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian perkawinan campuran ?
2. Apa
dasar hukum perkawinan campuran ?
- antar
agama
- antar
negara
3. Apa
syarat-syarat perkawinan campuran ?
- antar
agama
- antar
negara
4. Apa
akibat perkawinan campuran ?
1.3 Tujuan
1 Mengetahui
pengertian perkawinan campuran
2 Mengetahui
dasar hukum perkawinan campuran:
- antar
agama
- antar
negara
3 Mengetahui
syarat-syarat perkawinan campuran:
- antar
agama
- antar
negara
4 Mengetahui
akibat perkawinan campuran
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian
perkawinan campuran
1.1. Perkawinan
Perkawinan (pernikahan) berasal darikata bahasa
arab nakaha dan zawaja. Kedua kata tersebut menjadi istilah
pokok dalam Al-Qur’an
untuk menunjukkan kepada
makna perkawinan.Kata zawaja
berarti pasangan, sedangkan nakaha bermakna berhimpun.
Pasal 1 UUP mendefinisikan perkawinan sebagai
berikut “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan adalah hubungan permanen antara
laki-laki dan perempuan yang diakui sah oleh masyarakat yang bersangkutan yang
berdasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku.
Dengan demikian, perkawinan berarti
berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri sendiri menjadi satu
kesatuan yang utuh dan bermitra, perkawinan telah menjadikan seseorang yang
tadinya sendiri menjadi berpasangan dan saling melengkapi.
1.2. Perkawinan
campuran
Menurut pasal 57 UUP (Undang-undang perkawinan)
nomor 1 tahun 974, yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Jadi, perkawinan seorang warga negara Indonesia (WNI), dengan warga negara
asing (WNA) merupakan perkawinan campuran.
Perkawinan campuran yang dilangsungkan di
Indonesia dasar hukumnya adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (pasal
59 ayat 1). Di dalam pasal 60 UU menyebutkan bahwa perkawinan campuran tidak
dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang
ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi. Untuk membuktikan
syarat-syarat tersebut telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk
melangsungkan perkawinan campuran maka pihak yang berwenang boleh mencatat
perkawinan dan memberikan surat keterangan bahwa sayarat-syarat telah dipenuhi
oleh kedua mempelai.
Dari pengertian tersebut maka yang termasuk
sebagai perkawinan campuran adalah :
a. Perkawinan
Internasional ; yaitu antarawarganegara dan orang asing, antaraorang-orang
asingdengan hukumberlainan, dan perkawinan yangdilangsungkan di luar negeri;
b. Perkawinan
antar golongan ;(intergentiel). Adanya perkawinan campuran antar golongan
adalah disebabkan adanya pembagian golongan penduduk oleh Pemerintah Kolonial;
c. Perkawinan
antar Adat, misalnyaperkawinan antara perempuan Sundadengan Pria Jawa;
d. Perkawinan
antar Agama, perkawinan yang berlainan agama disebut pula perkawinan campuran.
Contoh perempuan beragama Islam menikah dengan pria beragama Kristen.
2. Perkawinan
Campuran Antar Negara
Perkawinan antar seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang memiliki status kewarganegaraan yang berbeda dalam terminilogi
Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 disebut perkawinan campuran. Sebagaimana
dikemukakan dalam pasal 57 : “yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam
undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, karena pebedaan kewarganegaraan,salah satu pihak
berkewarganegaraan asing dan pihak lain berkewarganegaraan Indonesia.
Kompilasi dalam hal ini tidak mengaturnya
secara ekspilisit. Dalam wacana kompilasi, yang dilihat persoalannya apabila
terjadi perkawinan camnpuran adalah hukum agama dan kepercayaan dari calon
mempelai. Apabila tidak ada perbedaan agama yang dianut oleh masing-masing mempelai,
maka perkawinan dapat dilangsungkan (lihat pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 1
tahun 1974). Misalnya, seorang laki-laki yang berkewarganegaraaan Inggris yang
beragama Islam dapat melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan
berkewarganegaaan Indonesia yang beragama Islam
2.1. Landasan
Hukum
Lebih lanjut tentang perkawinan campuran ini,
diatur dalam pasal 58 UU No 1 tahun 1974 : Bagi orang-orang yang berlainan
kewaranegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh
kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan
kewaranegaraannya,menurut cara-cara yang telah ditentukandalan UU
kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Pasal 59 berbunyi :
1. kewarganegaraan
yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusannya perkawinan menentukan
hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata.
2. Perkawinan
campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang
Perkawinan ini.
Kendati demikian, persyaratan baik yang
berkaitan dengan soal kewarganegaraan maupun syarat- syarat perkawinan perlu
dipenuhi agar perkawinan dapat dilangungkan.
Pasal 160 :
1. perkawinan
campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat syarat
perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi masing-masing telah
dipenuhi
2. untuk
membuktikan bahwa syarat-syara tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan
karena itu tidak aad rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka
oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang
mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah
dipenuhi.
3. Jika
pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka
atas permintaan yang berkepentingan pengadilan memberikan keputusan dengan
tidak beracara serta
tidak boleh dimintakan banding lagi tentang
soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
4. Jika
pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan keputusan itu menjadi
penganti keterangan yang tesebut ayat (3).
5. Surat
keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi
jika perkawinan itu tidak dilangungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah
keterangan itu diberikan
Selanjutnya diatur mengenai pencatatan
perkawinannya. Selain pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan
yang ditunjuk, apabila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan perkawinan
campuran tersebut, apakah oleh calon mempelai atau oleh peawai pencatat diancam
hukuman kurungan tidak ada hukum denda disini.
Pasal 61 UU Nomor 1/1974 berbunyi :
1. perkawinan
campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
2. Barang
siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu
kepada pegawai pencatat yang berwenang urat keterangan atau keputusan pengganti
keterangan yang disebut dalam pasal 60 ayat (4) uu ini dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan
3. Pegawai
pencatat perkawinan yang mencatat prkawinan sedangkan yang mengetahui bahwa
keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan da dihukum jabatan.
Dibanding dengan ketentuan pidana yang berlaku
dalam perkawinan yang umum, bukan perkawinan campuran, sangsi pidananya sedikit
lebih berat. Jika dalam perkawinan yang biasa ancaman hukumannya bagi calon
mempelai adalah denda setinggi-tingginya Rp.7.500,- maka dalam perkawinan
campuran, pelanggarnya diancam hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan.
Sementara bagi pencatat pekawinan, juga demikian, jika dalam perkawinan biasa
diancam dengan hukuman paling lama 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.
7.500,- maka dalam perkawinan campuran, diancam hukuman kurungan yang sama dan
ditambah dengan hukuman jabatan.
Akan halnya masalah kedudukan anak akibat pekawinan
campuran, diatur dalam pasal 62 UU Nomor 1/1974 sebagai berikut : dalam
perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan pasal 59 ayat (1) UU
ini.
Mengenai perkawinan yang dilangsungkan diluar
Indonesia,hukum yang diikuti adalah hukum dimana perkawinan itu dilangungkan,
apabila keduanya warga negara Indonesia dan tidak melangar ketentuan UU ini.
Ketentuan ini dijelaskan dalam pasal 56 UU Nomor 1/1974 :
1. perkawinan
yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia
atau seorang warga negara Indonesia dengan wara negara asing adalah sah, bila
mana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana negara itu
dilangsungkan dan bagi waga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan UU ini
2. dalam
waktu satu tahun setela suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat
bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatat Perkawinan tempat
tinggal mereka.
2.2. Persyaratan
dan Prosedur
Berbagai dokumen harus lebih dulu dilengkapi
sebelum mengurus berbagai kebutuhan lain yang bisa dilakukan dalam waktu yang
singkat.
1. Dokumen
untuk WNA:
• CNI
(Certificate of No Impediment) alias surat single, yaitu surat keterangan yang
menyatakan bisa menikah dan akan menikah dengan WNI. Surat ini dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang di negaranya, seperti kedutaan
• Fotokopi
kartu identitas (KTP) dari negara asal calon suami atau istri
• Fotokopi
paspor
• Fotokopi
akta kelahiran
• Surat
keterangan tidak sedang dalam status kawin
• Akta
Cerai jika sudah pernah kawin
• Akta
Kematian pasangan kawin bila meninggal
• Surat
keterangan domisili saat ini
• Pasfoto
2×3 (4 lembar) dan 4×6 (4 lembar)
• Untuk
pernikahan di KUA harus menyertakan surat keterangan Mualaf jika sebelumnya
beragama non-muslim
Syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan
CNI dari kedutaan asing
• Akta
kelahiran terbaru (asli)
• Fotokopi
kartu identitas (KTP) dari negara asal
• Fotokopi
paspor
• Bukti
tempat tinggal atau surat domisili (bisa berupa fotokopi tagihan telepon atau
listrik)
• Formulir
pernikahan dari kedutaan yang bersangkutan
Nah, semua surat tersebut harus diterjemahkan
ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah yang disumpah. Kemudian dilegalisir
oleh Kedutaan Negara WNA tersebut yang ada di Indonesia.
2. Dokumen
untuk WNI:
• Surat
pengantar RT/RW yang menyatakan bahwa tidak ada halangan untuk melangsungkan
pernikahan.
• Formulir
N1, N2, dan N4 dari Kelurahan dan Kecamatan
• Formulir
N3 khusus yang menikah di KUA (surat persetujuan mempelai yang harus
ditandatangani oleh kedua mempelai)
• Fotokopi
KTP
• Fotokopi
Akta Kelahiran
• Data
orangtua calon mempelai
• Fotokopi
Kartu Keluarga (KK)
• Buku
nikah orangtua (hanya jika anda anak pertama)
• Data
dua orang saksi pernikahan dan fotokopi KTP yang bersangkutan
• Pasfoto
2×3 (4 lembar) dan 4×6 (4 lembar)
• Bukti
pembayaran PBB (Pajak Bumi Bangunan) terakhir
• Prenup
(perjanjian pra nikah)
Dokumen WNI yang diminta oleh Kedutaan Asing:
• Akta
kelahiran asli dan fotokopi
• Fotokopi
KTP
• Fotokopi
surat N1, N2 dan N4 dari Kelurahan
• Fotokopi
prenup (jika ada)
Sebelum menyerahkan semua dokumen persyaratan
ini ke kedutaan, ada baiknya difotokopi terlebih dahulu semua dokumen tersebut
sebagai data pegangan. Sebab, nantinya pihak kedutaan tidak akan pengembalikan
dokumen tersebut. Setelah semua persyaratan ini dipenuhi, proses selanjutnya
adalah menunggu kabar dari kedutaan.
3. Perkawinan
Campuran Antar Agama
Perkawinan antar pemeluk agama tidak diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Undang-undang Perkawinan hanya mengatur tentang perkawinan antar warga negara
asing dan warga negara Indonesia, atau perkawinan campuran. Ketidakjelasan
aturan ini menyebabkan timbulnya ruang untuk berbagai penafsiran. Pasal di atas
juga dapat ditafsirkan bahwa pernikahan beda agama diperbolehkan asal sesuai
dengan hukum agamanya masing-masing.
Hal ini diperkuat dengan adanya Undang-undang
Hak Asasi Manusia No 39 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa terdapat setidaknya
ada 60 hak sipil warga negara yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun,
termasuk tentang pemilihan pasangan, menikah, berkeluarga, dan memiliki
keturunan.
3.1. Landasan
Hukum
Adalah suatu langkah pembaruan yang cukup
berani yang ditempuh oleh kompilasi. Kompilasi mengategorikan perkawinan antar
pemeluk agama islam dengan selain Islam ke dalam bab larangan perkawinan. Pasal
40 Kompilasi menegakan:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
1. Karena
wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
2. Seorang
wanita yang masih berada dalam masa tidakdengan pria lain.
3. Seorang
wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 44 : Seorang wanita islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Di dalam kitab-kitab fikih umumnya, perkawinan
antar pemeluk agama ini masih dimungkinkan, yaitu antara seorang laki-laki
Muslim dengan wanita kitabiyah, yang menurut beberapa pendapat adalah mereka
yang beragama Yahudi dan Nasrani. Kebolehan laki-laki Muslim mengawini wanita
kitabiyah
karena wanita kitabiyah berpedoman kepada kitab
yang aslinya berasal dari wahyu Allah. Pemahaman tekstual ini didasarkan kepada
QS. Al Maidah (5) 5 :”Pada
hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi al- Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. Membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya”.
Terhadap ayat tersebut an-Nawawy menjelaskan
bahwa menurut Imam al-Syafi’i, kebolehan laki- laki Muslim mengawini wanita
kitabiyah tersebut apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil sebelum
diturunkannya Al-Qur’an. Namun, setelah Al-Qur’an turun dan mereka tetap beragama
menurut kitab-kitab tersebut, tidak termasuk ahli kitab. Menurut tiga mazhab
lainnya, Hanafi, Maliki, dan Hanbali, berpendapat bahwa kebolehan laki-laki
Muslim mengawini wanita kitabiyah tersebut bersifat mutlak, meski agama ahli
kitab tersebut telah dinasakh.
Apabila diperhatikan ketentuan hukum dalam
pasal 40 dan 44 Kompilasi, menurut hemat penulis, selain mengambil pendapat
Imam al-Syafi’i yang melihat keberadaan kitab Taurat dan Injil, dinasakh oleh
kehadiran Al-Qur’an, sehingga perkawinan antar pemeluk agama, antara Islam dan
non-Islam, tidak diperbolehkan. Selain itu, juga dibangun atas dasar kajian
empiris, bahwa realitasnya perkawinan antar pemelukagama yang berbeda, lebih
banyak menimbulkan persoalan, karena terdapat beberapa hal prinsipil yang
berbeda. Memang ada, pasangan perkawinan beda agama dapat hidup rukun dan dapat
mempertahankan ikatan perkawinannya. Yang sedikit terakhir ini tentu saja dalam
pembinaan hukum belum cukup dijadikan acuan, kecuali hanya merupakan eksepsi
atau pengecualian.
Pertimbangan lain yang ditempuh dalam kompilasi
juga mengambil pendapat para ulama di Indonesia, termasuk di dalamnya Majelis
Ulama Indonesia yang tidak memperbolehkan perkawinan antar pemeluk agama.
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2) : 221
menyatakan: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik
sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikah orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak keneraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat- ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS.
Al- Baqarah (2) : 221).
Tidak diketahui secara tegas apakah kompilasi
lebih mengacu kepada QS. Al-Baqarah (2) : 221 tersebut, yang mempertanyakan
masihkah originalitas wanita kitabiyah seperti yang dimaksud Taurat dan Injil?
Pertanyaan ini memang terasa sulit untukdijawab, untuk tidak mengatakan tidak
mungkin.
Lalu, pertanyaan yang muncul adalah bagaiman
jika terdapat calon mempelai yang berbeda agama, menginginkan melangsungkan
perkawinan sementara mereka tetap bertahan pada agamanya masing-masing. Menurut
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, di Indonesia terdapat suatu peraturan yang
berlaku, yang memberikan jalan keluar dari kesulitan ini, yaitu Peraturan
tentang Perkawinan Campuran (Regelling op de Gemengde Huweljiken) termuat dalam
Stb1. 1989-158. Perkawinan Campuran seperti yang dijelaskan, menurut
Undang-undang Perkawinan tidaklah termasuk perkawinan antara pemeluk agama yang
berbeda.
Pasal 1 ayat (2) Peraturan tentang Perkawinan
Campuran tersebut menentukan bahwa perbedaan agama, kebangsaan atau asal-usul
tidak merupakan penghalang bagi suatu perkawinan. Pasal 2 menyatakan: “Seorang
perempuan (istri) yang melakukan perkawinan campuran selama pernikahan itu
belum putus, maka si perempuan (istri) tunduk kepada hukum yang berlaku untuk
suaminya maupun hukum publik maupun hukum sipil. Karena Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tidak mengatur masalah perkawinan antar pemeluk agama ini, maka
digunakan Pasal peralihan dan Pasal penutup.
Pasal 64 UU Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi: “Untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi
sebelum undang-undnag ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan
lama adalah sah”.
Pasal 66 Untuk perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka
dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74),
Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken S.1898 Nomor
158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Dengan demikian, karena menurut Undang-undang
Perkawinan tidak mengatur masalah perkawinan antar pemeluk agama, maka
peraturan-peraturan tersebut di atas, menurut sinyalemen Pasal 66 tersebut
masih berlaku.
Meskipun demikian, dalam melihat Pasal 40 dan
44 Kompilasi yang perlu diperhatikan adalah bunyi Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974
ayat (1) bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, adalah merupakan hasil ijtihad atau inovasi hukum dalam menafsirkan
ketentuan Al-Qur’an yang bersifat kolektif, ia merupakan hukum yang harus
dipedomani bagi umat Islam Indonesia. Walhasil, perkawinan antar pemeluk agama
Islam dan non-Islam tidak diperbolehkan secara hukum Islam. Karena ia
jelas-jelas termasuk suatu bentuk halangan perkawinan.
Ketentuan ini berbeda dengan pasal 75 Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen (Stbl.1933 Nomor 75):
1. Perkawinan
seorang laki-laki tidak beragama Kristen dengan seorang perempuan beragama
Kristen, atas permintaan mereka, dapat dikukuhkan dengan menuruti segala
ketentuan ordonansi ini dan Reglemen Catatan Sipil Indonesia-Kristen Jawa dan
Madura, Minahasa dan Ambon, Saparua dan Banda.
2. Dalam
hal ini perkawinan suami-istri itu seluruhnya tunduk pada ordonansi.
3.2. Persyaratan
dan prosedur
Merujuk Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, sebuah
perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu. Berarti yang harus diperhatikan ketika ingin melangsungkan
pernikahan beda agama adalah apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak
tersebut membolehkan?
Setiap agama memiliki rumusan masing-masing
soal pernikahan. Beberapa agamawan pun memiliki penafsiran berbeda. Di Islam
misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional II pada 1980
telah menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama.
Dalam fatwa tersebut para ulama memutuskan
bahwa perkawinan wanita Muslim dengan laki- laki non-Muslim hukumnya haram.
Seorang laki-laki Muslim juga diharamkan mengawanini wanita bukan Muslim. Di
sisi lain, ada juga agamawan muslim yang memperbolehkannya.
Meski pernikahan agama terkesan sulit
diwujudkan, terdapat beberapa cara yang dapat ditempuh.
Beberapa cara tersebut meliputi:
1) Meminta
penetapan pengadilan
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1400
K/Pdt/1986, para pasangan beda keyakinan dapat meminta penetapan pengadilan.
Pasangan yang hendak menikah meminta permohonan ke pengadilan agar menyetujui
permohonan pencatatan pernikahan ke kantor catatan sipil (KCS) setempat.
Langkah ini dasar hukumnya ada pada Pasal 35 huruf (a) UU Adminduk yang
menyebut bahwa pencatatan perkawinan berlaku pula bagi pernikahan beda agama
melalui penetapan pengadilan.
2) Perkawinan
Dilakukan Menurut Agama Masing masing
Artinya pasangan melakukan ritual perkawinan
menurut agama masing-masing. Contohnya pasangan yang beragama Islam dan Kristen
melaksanakan akad nikah dan juga pemberkatan. Agar dapat melakukannya, Anda
harus mencari pemuka agama yang bersedia menikahkan pasangan sesuai ajaran agamanya.
3) Penundukan
sementara pada salah satu hukum agama
Jika salah satu pasangan yang hendak menikah
beragama Katolik. Entah Islam dengan Katolik, Buddha dengan Katolik, proses
pencatatan jauh lebih mudah. Karena pada umumnya gereja Katolik sudah punya
“link” ke Catatan Sipil sehingga mereka juga membantu pencatatannya, namun
dengan prosesi seuai agama masing-masing.
4) Menikah
di luar negeri
Ini adalah cara yang banyak ditempuh oleh
selebriti Tanah Air, namun cukup menguras kantong. Pasangan beda agama bisa
menikah di negara yang memang memperbolehkan adanya perkawinan beda agama.
Perkawinan tersebut sah jika dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku di negara
tempat perkawinan tersebut dilangsungkan. Namun pasangan yang menikah tetap
harus melaporkan perkawinan tersebut di kantor catatan sipil Indonesia
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat
(2) UU Perkawinan: “Dalam waktu 1 (satu) tahun
setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan
mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal
mereka.”
4. Dampak
Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran akan menimbul akan akibat
hukum yaitu :
Perkawinan seperti perkawinan campuran dan
perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia berkemungkinan menyangkut 2 (dua)
sistem hukum yang berbeda, sehingga tata cara dan ketentuan yang mempengaruhi
sah atau tidaknya perkawinan tersebut serta akibat hukumnya perlu memperhatikan
sistem hukum masing-masing mempelai. Dengan perkawinan yang sah akan menimbulkan
akibat hukum yang sah , demikian juga dengan perkawinan campuran akan
menimbulkan akibat hukum yaitu :
1. Hubungan
hukum antara suami istri
2. Akibat
hukum terhadap harta perkawinan dan
3. Hubungan
hukum antara orang tua dengan anak.
4.1. Status
Hukum Anak
Akibat perkawinan campuranterhadap anak diatur
dalam pasal 62 UUNo. 1 Tahun 1974, yang menyatakan : Dalam perkawinan
campurankedudukan anak diatur dengan pasal 59Ayat (1) undang- undang ini.
Dengan demikian akibatperkawinan campuran
terhadap anak yaitu : anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan campuran
memperoleh hukum publik maupun hukum perdata dari ayahnya. Untuk mengetahui
status anak yang lahir dalam perkawinan campuran dengan sendirinya pun harus
berpedoman pada ketentuan UU Kewarganegaraan No.62Tahun 1958.
Pada dasarnya UU No. 62 Tahun1958 menganut azas
ius sanguinis sebagaimana dapat dibaca dalam pasal 1huruf b yang berbunyi:
“orang yang padawaktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan
ayahnya seorang warga Negara Indonesia, dengan pengertian tersebut telah ada
sebelum anak tersebut berumur 18 tahun, atau sebelum ia kawin di bawah usia18
tahun. Keturunan dan hubungan dara hantara ayah dengan anak dipergunakan
sebagai dasa rmenentukan kependudukan kewarganegaraan anak yang dilahirkan
dalam perkawinan. Seorang anak dianggap memiliki status kewarganegaraan seorang
ayah, bila ada hubungan keluarga. Jadi bila anak dilahirkan dalam perakawinan
yang sah seperti tersebut dalam Pasal 42 UUNo.1 Tahun 1974 maka kewarganegaraan
ayah dengan sendirinya menentukan kewarganegaraan anaknya.
a) Pasal
1 huruf c UU No. 62 Tahun 1958 menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan dalam 300
hari setelah ayahnya wafat, apabila waktu meninggal dunia ayahnya adalah warga
Negara Republik Indonesia, maka anak tersebut memperoleh kewarganegaraan
Republik Indonesia.
b) Anak
yang belum berusia 18 tahunpada waktu ayahnya memperoleh atau melepaskan
kewarganegaraan Republik Indonesia dan antara ayah dan anak terdapat hubungan
hukum keluarga, bila ayahnya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia
karena naturalisasi, maka anak yang
belum berusia 18 tahun memperoleh
kewarganegaraan Republik Indonesia dan anak tersebut harus bertempat tinggal di
Indonesia (Pasal 14 Ayat (1)UU No. 62 Tahun 1958).
c) Hubungan
keluarga antara anak dengan ayah tidak ada, apabila terjadi apa yang dimaksud
dalam pasal 43 UU Perkawinan, yaitu apabila terjadi anak dilahirkan di luar
perkawinan. Dalam hal demikian maka hanya ada hubungan anak dengan ibunya, dan
anak memperoleh kewarganegaraan ibunya.
d) Juga
dapat terjadi anak-anak kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya
disebabkan ayah atau ibunya kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia
(Pasal 16 UU No.62 Tahun 1958). Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 Pasal 4 huruf
c dan d tentang Kewarganegaraan RI Anak dari perkawinan campuran memiliki
kewarganegaraan ganda hingga di anak berusia 18 tahun atau sudah kawin dalam
waktu paling lama tiga tahun setelah mencapai umur 18 tahun maka anak harus
menyatakan memilih kewarganegaraannya akan menjadi WNI atau WNA, Negara asal
ayah atau ibunya. Selanjutnya berdasarkan Pasal 6 apabila status
kewarganegaraan ini menyebabkan anak berkewarganegaraan ganda, maka setelah
usia 18 tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus menyatakan memilih salah
satu kewarganegaraannya. Hal ini disebabkan karena UU No. 12 Tahun 2006
menganutasas kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak. Ketentuan ini kemudian
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No.2tahun 2007 tentang Tata
Cara, Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan Dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan
Indonesia, sedangkan pemberian fasilitas keimigrasian bagi anak
berkewarganegaraan ganda diatur dalam peraturan menteri dan HAM No.
M.80-HI.04.01 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pencatatan dan
Pemberian Fasilitas Kewarganegaraan sebagai warga Negara Indonesia yang
berkewarganegaraan Ganda. Hal ini sejalan dengan Pasal 29 Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa apabila terjadi
perkawinan campuran antara warga Negara Indonesia dan warga Negara asing anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari
ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
4.2. Dampak
Sosial
a.) Terhadap Kehidupan Keluarga (suami istri)
• Dalam
beberapa ayat dan hadits yang telah disebutkan, sebenarnya Allah dan Rasul-Nya
telah menyebutkan tentang akibat atau dampak dari melanggar perintah (nikah
beda agama). Misalanya dalam surat al Baqarah ayat 221 yang terjemahnya: Mereka
(pasangan musyrik) mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Secara pasti Allah menyebutkan dampak yang
terjadi terhadap seorang muslim/muslimah ketika menikah dengan pasangan
musyrik, yaitu pasangan tersebut akan menariknya kedalam neraka. Demikian
halnya yang disebutkan oleh Rasul dalam haditsnya yang artinya : Wanita
dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan
agamanya. Maka pilihlah karena agamanya niscaya engkau akan beruntung. (HR. Al
Bukhari dan Muslim). Dalam hadits ini Rasul menjelaskan bahwa bagi sesiapa yang
memilih pasangan karena karena mengutamakan agamanya, maka akan beruntung.
Beruntung disini bersifat umum, bisa di dunia dan bisa juga di akhirat.
• Perasaan
dan suasana yang tidak nyaman hidup bersama dengan orang yang menurut
agama/pasangan ‚salah‛. Permasalahan tidak nyaman itu diakui atau tidak,
lantaran pasangan yang akhirnya menikah itu tetap mempertahankan agama sebagai
kepercayaan masing-masing. Hal ini bisa berdampak pada keharmonisan keluarga.
Sebab, tujuan menikah salah satunya karena ingin membangun keluarga yang
sakinah, mawaddah wa rahmah. Bagi pasangan yang beda agama tersebut, berpotensi
hidup bersama tanpa dibarengi dengan kenyamanan. Alasannya karena keduanya
masih merasa bahwa agama yang dianut masing-masing sama-sama benar. Sehingga,
keduanya tetap mempertahankan agama yang dipercayanya masing-masing. b)
Pasangan nikah beda agama berpotensi memunculkan perasaan khawatir jika anak
suatu saat akan mengikuti atau tertarik dengan agama yang dianut pasangan
• Rasa
tidak nyaman secara sosial karena selalu menjadi sasaran pandang masyarakat.
• Memunculkan
perasaan saling curiga. Misalnya, ketika salah satu pasangan melakukan hal-hal
yang baik dengan alasan karena dianjurkan oleh ajaran agamanya. Hal itu
menimbulkan potensi anggapan yang muncul dari pasangan bahwa ada ‘upaya lain’
di balik tindakan baik pasangan tersebut.
b.) Terhadap Pendidikan Agama Anak
Selain berdampak negative terhadap kehidupan
keluarga (suami istri), dampak yang paling mengerikan adalah terhadap anak
keturunan. Jelasnya anak dari orang tua yang beda agama akan memiliki dua
kepribadian atau berkepribadian ganda. Di satu sisi harus pandai menghadapi
sang ayah yang beragama Islam misalnya dan disisi lain harus bisa menyesuaikan
dengan agama kepercayaan ibunya, kristen misalnya.
Secara umum, pasangan beda agama dibagi menjadi
3 kategori; yaitu pasangan yang sama-sama lemah dalam agamanya, pasangan yang
salah satunya kuat dalam beragama sedangkan yang lain lemah dalam agama dan
pasangan yang sama-sama kuat dalam beragama. Dengan berdasar pada pembagian
tersebut, maka dampak yang terjadi-pun terhadap pendidikan agama anak
setidaknya ada tiga: a) Pada pasangan yang tidak terlalu kuat dalam beragama
atau beragama sekedar formalitas (agama KTP) maka akan berdampak terhadap
persepsi anak tentang agama sebagaimana orang tua memahami agama. Secara
generatif anak mengikuti keberagamaan orang tua. Faktor lingkungan lebih
dominan dalam mempengaruhi agama anak, sedangkan orang tua kurang begitu
signifikan pengaruhnya. b) Pada pasangan di mana salah satu pasangan lebih kuat
dalam beragama atau lebih aktif dalam mempengaruhi anak untuk masuk dalam
agamanya, maka anak akan cenderung mengikuti agama orang tua yang dominan.
Dalam keluarga semacam ini, biasanya salah satu pihak aktif berusaha untuk
mengenalkan agamanya kepada anaknya, sementara pihak yang lain cenderung
membiarkan atau mengalah. Hal ini dilakukan untuk mencegah konflik rumah
tangga. Tidak jarang pihak yang mengalah justru mendorong anaknya supaya
konsisten dalam beragama. Artinya, anak diminta menjadi penganut agama dengan
baik. Tidak jarang sikap mengalah dan sportif pihak orang tua yang mengalah
justru mengundang simpati salah satu anak dan karenanya anak berkeinginan untuk
mengikuti agama selain yang diajarkan pihak orang tua yang dominan. c) Pada
pasangan yang sama–sama kuat dalam beragama atau sama-sama aktif dalam mengajak
anak agar memeluk agama yang dipeluknya memiliki 2 (dua) kemungkinan, yaitu
orang tua membuat kesepakatan, atau orang tua tidak membuat kesepakatan. Bagi
pasangan yang membuat kesepakatan tertentu, maka komunikasi
keluarga dalam hal agama akan lebih terarah
sesuai dengan kesepakatan tersebut, baik kesepakatan tentang agama anak untuk
mengikuti agama salah satu orang tua atau dibagi secara fair, sebagian ikut
agama ayah, sebagian ikut agama ibu. Atau bahkan anak diberi kebebasan dalam
menganut agama. Potensi konflik akan terjadi pada pasangan yang tidak membuat
kesepakatan tertentu karena terjadi kompetesi terselubung dalam mempengaruhi
agama anak
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat
disimpulkan :
1. Pasal
1 UUP mendefinisikan perkawinan sebagai berikut, perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Menurut
pasal 57 UUP (Undang-undang perkawinan) nomor 1 tahun 974, yang dimaksud dengan
perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan seorang warga negara
Indonesia (WNI), dengan warga negara asing (WNA) merupakan perkawinan campuran.
3. Perkawinan
campuran tebagi menjadi
a) Perkawinan
Internasional ; yaitu antara warganegara dan orang asing, antaraorang-orang
asingdengan hukumberlainan, dan perkawinan yangdilangsungkan di luar negeri;
b) Perkawinan
antar golongan ;(intergentiel). Adanya perkawinan campuran antar golongan adalah
disebabkan adanya pembagian golongan penduduk oleh Pemerintah Kolonial;
c) Perkawinan
antar Adat, misalnyaperkawinan antara perempuan Sundadengan Pria Jawa;
d) Perkawinan
antar Agama, perkawinan yang berlainan agama disebut pula perkawinan campuran. Contoh
perempuan beragama Islam menikah dengan pria beragama Kristen.
4. Perkawinan
campuran antar negara lebih lanjut diatur dalam pasal 58 UU No 1 tahun 1974 :
Bagi orang-orang yang berlainan kewaranegaraan yang melakukan perkawinan
campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula
kehilangan kewaranegaraannya,menurut cara-cara yang telah ditentukandalan UU
kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
5. Perkawinan
antar pemeluk agama tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Pasal 1 ayat (2) Peraturan tentang Perkawinan
Campuran (Regelling op de Gemengde Huweljiken) termuat dalam Stb1. 1989-158
menentukan bahwa perbedaan agama, kebangsaan atau asal-usul tidak merupakan
penghalang bagi suatu perkawinan
6. Kompilasi
Hukum Islam pasal 40 dan pasal 44 mengategorikan perkawinan antar pemeluk agama
islam dengan selain Islam ke dalam bab larangan perkawinan
7. Cara
yang ditempuh untuk pernikahan beda agama 1.) Meminta penetapan pengadilan
2.) Perkawinan Dilakukan Menurut Agama Masing
masing 3.) Penundukan sementara pada salah satu hukum agama 4.) Menikah di luar
negeri
DAFTAR PUSTAKA
Rofiq, Ahmad. 2017. Hukum Perdata Islam di
Indonesia Edisi Revisi Depok : PT RajaGrafindo Persada.
https://media.neliti.com/media/publications/335336-pernikahan-beda-agama-dan-dampak-terhada-
a6be4e9c.pdf
https://jdih.tanahlautkab.go.id/artikel_hukum/detail/menelaah-perkawinan-beda-agama-menurut-hukum-
positif
https://www.hops.id/bisakah-nikah-beda-agama-di-indonesia-ternyata-bisa-ada-triknya/
https://kumparan.com/berita-hari-ini/nikah-beda-agama-cara-hukum-dan-syaratnya-1upskXj6h9q/full
https://indonesia.go.id/layanan/kependudukan/sosial/aturan-wna-yang-akan-menikah-dengan-wni
Posting Komentar untuk "Makalah Perkawinan Campuran"